Membaca judul ini mungkin akan
ada pertanyaan, mengapakah? Saya bukan bermaksud memandang ayat ini sebagai
“sesuatu” yang negative, namun ada sebuah kisah yang saya alami dan berhubungan
dengan ayat ini.
Suatu hari, suami saya mendapat
tugas ke Jogjakarta. Karena lokasinya jauh, hampir dua jam dari kota, akhirnya
saya “mengungsi” di rumah Bude di Godean. Saya memilih ikut ke Jogja karena di
Solo saya hanya sendirian dengan anak saya yang berusia kurang dari dua tahun
kala itu. Selain itu, tujuan saya sekaligus bersilaturrahmi ke tempat Bude,
yang sudah lama tidak saya kunjungi.
Kami berangkat Rabu sore karena Kamis
paginya suami harus menjemput klien. Malam itu terlewati dengan tak ada suatu
apa. Paginya suami berangkat dan beliau baru akan kembali keesokan harinya.
Kamis malam, artinya malam Jumat.
Dan Jumat itu adalah Jumat legi menurut pasaran Jawa. Selepas maghrib, Amay,
anak saya mulai rewel. Kami membujuknya namun tak berhasil, hingga ia menangis
sambil berteriak.
Saya pun panik. Sambil
menggendongnya, saya komat-kamit membaca ayat kursi, dan tiga surat lainnya
yaitu Al-Falaq, Al-Ikhlas, dan An-Nass. Namun tangisan Amay tak juga berhenti,
bahkan ia makin susah dikendalikan.
Kebetulan di rumah Bude saya, hadir juga calon
menantunya. Dia bilang, “Coba telpon Mas Yopie (suami saya), Rin. Mungkin Amay
kangen.” Lalu sepupu saya meneleponkan suami. Rupanya, di tempat suami tidak
ada sinyal. Saya berusaha menelepon suami lagi, tapi susahnyaaaa… Ketika pada
akhirnya tersambung, suaranya pun putus-putus dan kurang jelas. Dan memang,
ketika mendengar suara suami yang terputus-putus itu Amay diam. Ketika telepon
ditutup, Amay kembali menangis.
Saya tetap membaca apapun yang saya
bisa, ketika kemudian Bude saya berkata, “Jangan baca ayat kursi ya, Rin.”
“Lho Bude, dari tadi Arin baca
ayat kursi.” Saya heran.
“Pantesan!” mereka bertiga
kompak. Bude, sepupu saya, dan kekasihnya itu.
“Lho, salah ya?” saya masih
bingung.
“Disini lebih baik baca
Al-Fatihah, Rin. Karena kalau baca Ayat Kursi, kesannya kamu tuh ngusir mereka.”
Terang calon menantu Bude saya.
“Oh…” Tanpa banyak bicara akhirnya
saya membaca Surat Al-Fatihah. Amay sedikit lebih tenang, tapi masih menangis.
Calon menantu Bude saya kemudian
ke dapur untuk mengambil garam, lalu dia ambil juga sapu lidi (sapu tebah).
Entah apa yang dia lakukan di kamar, namun kemudian dia menyuruh saya untuk
menidurkan Amay di kamar itu. Tak berapa lama, Amay pun tertidur.
Saya kemudian keluar kamar untuk
mencari tahu ada apa sebenarnya. Mereka sudah berkumpul.
“Ini Jumat Legi ya?” tanya sepupu
saya kepada kekasihnya.
“Iya.” Jawabnya.
“Ada apa dengan Jumat legi?”
tanya saya. Jujur, saya masih sangat bingung saat itu.
“Di lantai atas lagi ada
pengajian.” Kata kekasih sepupu saya.
“Oh, makin ngga ngerti aku.”
“Gini, mereka itu kan baik,
mereka sudah menghuni rumah ini ribuan tahun. Mereka pun mengaji, dan rumah ini
ketempatan tiap malam Jumat legi. Mereka datang dari segala penjuru. Amay itu
sebenarnya udah sering lihat makhluq-makhluq kayak gitu. Tapi kalau ada
papanya, dia merasa aman. Ini kebetulan Mas Yopie nggak ada, jadi dia bingung
mau berlindung ke siapa.”
“Oh..”
“Kalau baca Al-Fatihah kan kita
mendo’akan to, Rin? Kalau ayat kursi lebih ke mengusir, dan mereka nggak suka.”
Tambah sepupu saya.
“Oh… Bude nggak takut?”
“Bude si udah biasa.”
“Mereka itu nggak ngganggu koq,
Rin. Aku aja tidur di atas sendiri juga nggak apa-apa.” Kata sepupu saya. “Mungkin
tadi Amay lihat banyak makhluq berterbangan kali…kan biasanya paling dia lihat cuma
diem.”
Mereka terlihat tenang, bahkan
bercerita sambil bercanda. Sementara saya, melongo dibuatnya.