Suatu hari di bulan September tahun 2015, seorang teman yang saat itu tinggal di Riau mengabarkan bahwa ia dan keluarganya terjebak asap yang dihasilkan oleh kebakaran hutan. Ia, rencananya akan pulang ke Purworejo via Jogja untuk mengungsi, tetapi sayang keinginannya itu harus kandas karena bandara ditutup. Ia mengaku sudah tidak tahan dengan kualitas udara yang setiap saat harus dihirupnya, dan selalu berharap agar kabut asap segera berkurang, bandara dibuka, dan ia bisa kembali menghirup udara Purworejo yang segar.
Saat itu saya hanya bisa menguatkannya melalui obrolan di media sosial.
Saya pun mendoakan kesehatannya, juga putra-putrinya yang saat itu masih
kecil-kecil. Sungguh, saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika saya
yang berada di posisinya, sedangkan saya, terkena asap rokok atau asap
obat nyamuk saja napas langsung terasa sesak.
Saya, sebelum karhutla 2015 melanda, mungkin hanya memandang kebakaran
hutan sebagai bencana tahunan layaknya banjir Jakarta. Namun, setelah
teman saya sendiri ikut merasakan akibatnya dan menceritakan bagaimana
sesaknya bernapas di tengah kepungan asap, saya berpikir bahwa bencana
seperti ini tak boleh terulang lagi di masa yang akan datang. Apalagi
jika melihat dampaknya yang luar biasa tak hanya terhadap kesehatan, tetapi juga terhadap lingkungan dan perekonomian.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh BMKG dan telah diperbarui pada 20 Agustus 2018, di tahun 2015, Riau memang menjadi salah satu dari 11 provinsi yang memiliki titik panas terbanyak, yaitu 4.965 titik. 10 provinsi lainnya yaitu;
- Kalimantan Tengah dengan 21.809 titik
- Sumatera Selatan dengan 21.767 titik
- Papua dengan 11.134 titik
- Kalimantan Timur dengan 6.923 titik
- Kalimantan Barat dengan 6.156 titik
- Jambi dengan 5.164 titik
- Kalimantan Selatan dengan 4.533 titik
- Kepulauan Bangka Belitung dengan 1.465 titik
- Sumatera Utara dengan 590 titik
- Aceh dengan 218 titik
Per 11 Juni 2020 kemarin, berdasarkan pantauan Satelit TERRA/AQUA (LAPAN), jumlah titik panas yang terpantau mengalami penurunan sebesar 31,43% jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2019 lalu. Tiga provinsi dengan jumlah titik panas (hot spot) terbanyak adalah;
1. Riau
2. Sulawesi Selatan
3. Kepulauan Riau
Meski secara angka mengalami penurunan, tetapi tetap saja fakta tersebut membuat sedih, karena saat ini masih bulan Juni dan musim kemarau baru saja dimulai. Namun, semoga pihak yang berwenang selalu siaga, sehingga begitu terlihat ada titik panas, petugas senantiasa sigap menanganinya agar kebakaran tidak semakin meluas.
Hijaukan hutannya, segarkan udara kita |
Karhutla atau kebakaran hutan dan lahan, memang selalu menjadi ancaman setiap tahunnya. Pemerintah bukannya tidak berupaya untuk melakukan pencegahan, tetapi bencana ini selalu datang berulang. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya karhutla, antara lain:
1. Faktor alam
Faktor alam seperti musim kering yang berkepanjangan, El Nino, dan pemanasan global, menjadi faktor utama penyebab kebakaran hutan. Ditambah lagi, kondisi hutan Indonesia yang terdiri dari lahan gambut yang memang mudah terbakar.
2. Faktor manusia
Ulah manusia yang tidak bertanggung jawab pun menjadi salah satu penyebab kebakaran hutan dan lahan. Biasanya, pembakaran dilakukan dengan tujuan untuk membuka lahan baru, entah itu untuk perkebunan atau perumahan.
Upaya Pencegahannya
Sebenarnya sudah ada ancaman sanksi baik itu berupa sanksi administrasi, sanksi pidana, maupun sanksi perdata bagi siapa pun pihak yang dengan sengaja melakukan pembakaran. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat pun telah membentuk Satgas Penanggulangan Karhutla yang terdiri dari personel TNI, Polri, juga masyarakat.
Tak berhenti di situ, menurut Ibu Anis Aliati, Kasubdit Pencegahan Karhutla-Direktorat PKHL, Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim, KLHK, upaya pencegahan karhutla juga dilakukan dengan menggandeng pemuka agama. Harapannya tentu saja agar masyarakat lebih mau mendengarkan bahwa pembakaran hutan secara sengaja merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan karena merugikan masyarakat luas.
TNI bersama dengan masyarakat sedang berupaya untuk memadamkan kebakaran hutan |
Dampak yang Ditimbulkan oleh Kebakaran Hutan dan Lahan
Seperti yang sudah tertulis di atas, karhutla tidak hanya memberikan dampak buruk terhadap aspek kesehatan, tetapi juga terhadap lingkungan dan perekonomian.
1. Kesehatan
Asap yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan, dapat menyebabkan berbagai penyakit, seperti;
- Gangguan pada mata (mata terasa pedih karena terkena asap)
- ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan)
- Pneumonia (paru-paru basah)
- Gangguan pertumbuhan janin pada ibu hamil, mengakibatkan berat badan bayi rendah, dan risiko bayi terlahir prematur
- Memperburuk kondisi penderita TBC/asma
- Kanker paru-paru
2. Lingkungan
Dampak buruk karhutla terhadap lingkungan, bisa langsung kita lihat dan rasakan, misalnya;
- Emisi gas karbondioksida
- Terbunuhnya satwa liar
- Musnahnya tanaman
- Punahnya spesies endemik, dll
3. Perekonomian
Kebakaran hutan dan lahan, secara tidak langsung juga berimbas pada aktivitas perekonomian, karena;
- Terhentinya aktivitas pendidikan dan perdagangan
- Terhentinya aktivitas perhubungan/transportasi karena terbatasnya jarak pandang
- Kerusakan pada berbagai sarana prasarana dan fasilitas umum
Menurut Prof. Dr. Ir. H. Bambang Hero Saharjo, M.Agr., Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, kerugian yang diakibatkan oleh kebakaran hutan pada tahun 2015, bernilai lebih dari Rp 200 triliun, sedangkan kebakaran hutan tahun 2019 lalu mengakibatkan kerugian sebesar lebih dari Rp 75 triliun.
Bila melihat berbagai kerugian yang diakibatkan dari kebakaran hutan dan lahan, tentu kita tidak ingin bencana ini terjadi setiap tahunnya, bukan? Untuk itu, mari bersama-sama kita jaga hutan kita. Saat berjalan-jalan ke hutan, atau mendaki gunung misalnya, jangan sembarangan membuang puntung rokok, karena hal sekecil itu bisa menimbulkan kerusakan besar.
Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog "Perubahan Iklim" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini.
Sumber referensi;
- https://id.wikipedia.org/wiki/Kebakaran_liar
- https://nasional.kompas.com/read/2018/08/24/17291701/11-provinsi-paling-rawan-kebakaran-hutan-dan-lahan-di-indonesia