Saya baru saja menyelesaikan sebuah novel karya Retni S.B. yang berjudul Megamendung Kembar. Novel ini mengangkat tema tentang Batik Indonesia, khususnya batik di kota kelahiran sang penulis, yaitu Cirebon.
Sesuai dengan judulnya, di novel ini, motif Megamendunglah yang diangkat ke dalam cerita. Ya, Megamendung memang menjadi motif kebanggaan Kota Cirebon. Bahkan, motif ini memiliki kekhasan yang tidak ditemui di daerah penghasil batik lain. Mengutip Wikipedia, kekhasan motif Megamendung tidak hanya terdapat pada motifnya yang berupa gambar menyerupai awan dengan warna-warna tegas, tetapi juga nilai-nilai filosofi yang terkandung di dalamnya.
Bentuk awan merupakan gambaran dunia luas, bebas dan mempunyai makna transidental (Ketuhanan). Motif Megamendung yang pada awalnya selalu berunsurkan warna biru diselingi warna merah, menggambarkan maskulinitas dan suasana dinamis, karena dalam proses pembuatannya ada campur tangan laki-laki. Kaum laki-laki anggota tarekatlah yang pada awalnya merintis tradisi batik. Warna biru dan merah tua juga menggambarkan psikologi masyarakat pesisir yang lugas, terbuka dan egaliter.
Dan layaknya sebuah novel pada umumnya, ada bumbu-bumbu percintaan yang menjadikan novel ini semakin menarik untuk dibaca. Agak sedih sebenarnya, karena novel ini berkisah tentang cinta terlarang. Cinta yang tak bisa termiliki. Perih, namun tak ada pilihan yang lebih baik dari ini. Namun begitu, ada setitik bahagia di akhir kisahnya. Dan ternyata, kekuatan cinta sejati memang tak bisa dibohongi. Energinya tetap saling bertautan, meski ada jarak yang memisahkan kedua insan.
Cinta sejati inilah yang pada akhirnya melahirkan sebuah kesamaan pemikiran dan perasaan, yang tertuang dalam Megamendung Kembar.
Sesuai dengan judulnya, di novel ini, motif Megamendunglah yang diangkat ke dalam cerita. Ya, Megamendung memang menjadi motif kebanggaan Kota Cirebon. Bahkan, motif ini memiliki kekhasan yang tidak ditemui di daerah penghasil batik lain. Mengutip Wikipedia, kekhasan motif Megamendung tidak hanya terdapat pada motifnya yang berupa gambar menyerupai awan dengan warna-warna tegas, tetapi juga nilai-nilai filosofi yang terkandung di dalamnya.
Bentuk awan merupakan gambaran dunia luas, bebas dan mempunyai makna transidental (Ketuhanan). Motif Megamendung yang pada awalnya selalu berunsurkan warna biru diselingi warna merah, menggambarkan maskulinitas dan suasana dinamis, karena dalam proses pembuatannya ada campur tangan laki-laki. Kaum laki-laki anggota tarekatlah yang pada awalnya merintis tradisi batik. Warna biru dan merah tua juga menggambarkan psikologi masyarakat pesisir yang lugas, terbuka dan egaliter.
![]() |
Motif Batik Megamendung, via batik-tulis.com |
Dan layaknya sebuah novel pada umumnya, ada bumbu-bumbu percintaan yang menjadikan novel ini semakin menarik untuk dibaca. Agak sedih sebenarnya, karena novel ini berkisah tentang cinta terlarang. Cinta yang tak bisa termiliki. Perih, namun tak ada pilihan yang lebih baik dari ini. Namun begitu, ada setitik bahagia di akhir kisahnya. Dan ternyata, kekuatan cinta sejati memang tak bisa dibohongi. Energinya tetap saling bertautan, meski ada jarak yang memisahkan kedua insan.
Cinta sejati inilah yang pada akhirnya melahirkan sebuah kesamaan pemikiran dan perasaan, yang tertuang dalam Megamendung Kembar.
Novel ini ditulis dari sudut pandang orang ketiga. Ada 3 bagian, dan masing-masing bagian terdiri dari beberapa bab.
1. Bagian pertama, terdiri dari 4 bab. Pada bagian ini, penulis bercerita tentang Awie, seorang art director di perusahaan periklanan yang cukup besar di Jakarta, yang pada akhirnya memilih untuk kembali ke kampung halamannya di Cirebon untuk meneruskan usaha batik sang nenek.
Keputusan untuk mundur dari kemewahan Jakarta diambilnya dengan penuh kesadaran, didasari rasa cinta yang besar pada sang nenek, dan didorong oleh rasa penasaran yang tinggi terhadap kebiasaan “aneh” sang nenek pada saat membatik.
2. Bagian kedua, terdiri dari 6 bab. Pada bagian ini, kita dibawa mundur ke tahun 1948, saat Indonesia baru saja merdeka, akan tetapi di daerah-daerah masih terjadi pemberontakan-pemberontakan. Di bagian ini, penulis berkisah tentang Sinur, buruh batik yang bekerja di sebuah pabrik. Ya, tepat sekali, Sinur adalah nenek Awie.
Di sinilah kisah cinta rumit itu diceritakan. Di sini pula kita akan menemukan penyebab kebiasaan “aneh” yang dilakukan nenek Awie. Tak heran bila bagian kedua ini sedikit lebih panjang dibandingkan dua bab lainnya.
3. Bagian ketiga, terdiri dari 4 bab. Karena ini adalah bagian terakhir, tentu saja ini merupakan bagian penyelesaian. Bagian ini cukup membuat tegang, sedih, dan bahagia sekaligus. Pertanyaan-pertanyaan yang semula ada di kepala, perlahan-lahan menemukan jawaban.
Bagaimana bisa tercipta Megamendung Kembar itu? Mengapa Megamendung buatan Sinur bergradasi sembilan, dan bukan tujuh seperti pakemnya, atau lima atau tiga, seperti Megamendung yang biasa ditemui di pasaran? Lalu, bagaimana pula pertemuan Sinur dengan orang yang telah membuatnya susah move on hingga usia sesenja ini?
Sungguh, novel ini benar-benar membuat saya berpikir bahwa cinta yang tak kesampaian, selalu akan membuat pelakunya penasaran. Mengapa ada orang yang bisa begitu mudah jatuh cinta, sementara ada juga orang yang harus bersusah payah melupakan orang yang dicintainya?
Jujur, saya suka novel ini. Tak hanya ide ceritanya yang menarik, cara bertutur penulisnya juga sangat cantik. Diksinya kaya, akan tetapi tidak membuat pusing pembacanya. Dan jika teman-teman menilai bahwa novel yang baik adalah novel yang menambah pengetahuan pembacanya, maka novel ini termasuk di dalamnya. Dari sini saya jadi tahu proses pembuatan batik yang begitu panjang, seperti ngerengreng, ngiseni, ngobat, nembok, nyelup, atau ngelorod.
Retni S.B. menampar saya melalui novel ini. Saya selama ini tidak terlalu suka mengenakan batik, padahal nenek saya (ibunya bapak) dahulu adalah orang yang pandai membatik. Namun sayang, saya tak sempat belajar membatik dari beliau. Jadi teman-teman, mari kita cintai Batik Indonesia sejak sekarang. Kalau bukan kita yang menjaga warisan budaya Indonesia, siapa lagi coba?