Jika mengingat materi Seminar Parenting tentang bullying bulan lalu, barangkali kalimat yang diucapkan seseorang pada Amay beberapa waktu lalu itu, termasuk dalam verbal bullying.
Sebelum mengomentari kulkas kami yang berukuran kecil itu, orang yang sama bertanya pada Amay, putra sulung kami. Entah apakah niatnya hanya bertanya ataukah ada tujuan lainnya, katanya, "Ayah kamu miskin, ya, May? Koq kamu ngga punya TV?" yang dijawab oleh Amay dengan cerdas, "Tapi ayahku lebih keren daripada ayah kamu!"
Kalau mengingat kembali materi parenting bulan sebelumnya tentang mempersiapkan ananda masuk SD, bahwa salah satu tanda kesiapan anak untuk memasuki jenjang yang lebih tinggi adalah mampu menyelesaikan masalahnya sendiri, maka saya berkesimpulan kalau Amay memang sudah siap untuk menjadi anak SD dengan jawaban cerdas di atas. Amay tidak mengadu, dalam artian meminta bantuan orang lain untuk menjawab perlakuan orang itu.
Sayangnya, saat insiden "pemiskinan" itu, saya tidak mendengar cerita itu dari mulut Amay sendiri. Adik saya yang saat itu sedang menemani Amay bermain lah yang mendengarnya dan ia menceritakannya pada saya. Yang saya dengar secara langsung, adalah komentarnya tentang kulkas kami dan mainan Amay yang mungkin baginya terlalu sedikit. Saya hanya tersenyum saja saat mendengar ucapannya tentang kulkas kami itu.
Ketika mengomentari mainan Amay, tumben-tumbenan kalimatnya sedikit lebih halus. "Ayahmu nggak punya uang (tidak lagi memakai kata "miskin") buat beli lego lagi to, May?" Dan karena saya merasa perlu meluruskan anggapannya itu, saya katakan padanya bahwa mainan-mainan Amay dibagi 2. Sebagian dibawa ke rumah, sebagian lagi sengaja ditinggal di rumah kontrakan kami. Kenapa masih ditinggal? Karena setidaknya hingga Mei nanti, kami masih akan bolak-balik ke rumah kontrakan yang juga merupakan kantor ayah Amay itu.
Jujur saja, saya sama sekali tidak terusik dengan predikat "miskin" dari mulutnya itu. Yang saya khawatirkan justru Amay. Saya takut dia akan menjadi anak yang minder. Alhamdulillah, kelihatannya sih dia tidak terlalu terpengaruh.
Suatu malam menjelang tidur, saya ajak Amay membicarakan hal ini. Meski umurnya di 16 Maret ini baru menginjak 6 tahun, tapi terkadang saya mengajaknya berbincang hal yang serius. Saya hanya ingin menyelami pikirannya, mendengar pendapatnya tentang suatu hal, termasuk tentang definisi "miskin" itu sendiri, dan apakah dia malu dicap sebagai orang miskin. Beruntung, dia punya daya nalar yang cukup oke untuk anak seusianya. Katanya, miskin itu yang suka minta-minta. "Mas Amay kan nggak minta-minta. Malah si itu yang waktu itu minta mainannya Mas Amay," tambahnya. 😎😎
Baiklah, berarti konsep sederhana tentang "miskin" sudah nyantol di benaknya. Meski kemudian saya kembali mengingatkan bahwa sesungguhnya semua manusia itu miskin. "Yang kaya itu cuma Allah. Kita ngga punya apa-apa kan, wong kita cuma dititipi? Makanya kita ngga boleh sombong," pesan saya. Amay manggut-manggut, entah benar-benar mengerti atau tidak.
"Berarti si itu sombong, Ma?" tanyanya. Saya hanya bisa mengangkat bahu, kemudian menyuruhnya untuk tidur. Tak lupa saya pesankan padanya, tak perlu risau dengan anggapan siapapun tentangnya atau tentang kami. Karena yang paling tau perasaan kita adalah Allah dan diri kita sendiri. Jangan minta-minta pada manusia meski kita tak punya. Pun, jangan merasa paling kaya hingga tega merendahkan sesama.
Seusai memastikan bahwa Amay sudah tidur, saya pun tergoda untuk melihat-lihat harga TV LED dan harga kulkas panasonic 2 pintu. Kebetulan waktu itu, Papa Amay sedang keluar kota. Karena nggak tau mesti ngapain, jadi saya browsing saja, iseng. Entah, apakah saya yang terlihat kuat ini malah justru lebih lemah dari Amay? Jangan-jangan, ketika saya menasehati Amay tadi, sebenarnya saya sedang menasehati diri sendiri? Ah sudahlah. Orang dewasa memang rumit. Iya kan? ☺☺
gambar kulkas panasonic 2 pintu |