Pertama kali membaca novel ini adalah ketika saya duduk di bangku SMA. Karena apa lagi jika bukan oleh tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia? Sebelumnya, saya hanya mendengar kisah Sitti Nurbaya dan Samsulbahri yang harus menderita karena kisah cintanya terhalang oleh Datuk Meringgih yang tak punya hati. Dan dulunya, saya pikir, orang tua Sitti Nurbaya lah yang tega menukar kebahagiaan sang putri hanya demi pundi-pundi duniawi. Apalagi, ini didukung dengan syair lagu yang dibawakan suara melengking milik Ari Lasso, yang saat itu masih menjadi vocalis grup band Dewa 19, berjudul "Cukup Siti Nurbaya".
"Oh... Memang dunia, buramkan satu logika
Seolah-olah, hidup kita ini
Hanya ternilai s'batas rupiah
Cukup Siti Nurbaya yang mengalami
Pahitnya dunia
Hidupku, kamu, dan mereka semua
Takkan ada yang bisa memaksakan jalan
Hidup yang 'kan tertempuh
Dengarkan manusia yang terasah falsafah
Sesaat katanya
Itu bukan dogma"
Tapi ternyata, setelah membaca keseluruhan isi novelnya, ada banyak sekali buah pikiran yang perlu diluruskan. Bahwa ternyata, Sitti Nurbaya tak pernah dipaksa oleh sang ayah untuk menikah dengan Datuk Meringgih.
Berikut ini ringkasan cerita Sitti Nurbaya, Kasih Tak Sampai:
Samsulbahri dan Sitti Nurbaya, dua sahabat - teman sekelas - tetangga yang saling jatuh cinta. Rumahnya bersebelahan. Tak hanya mereka berdua yang dekat, kedua orang tua mereka pun sama-sama berhubungan baik. Suatu hari, mereka harus berpisah karena Samsu (Samsulbahri), merantau ke Jakarta untuk menempuh pendidikan dokter. Meski berjauhan, mereka berdua sepakat untuk saling setia.
Namun sayang, takdir mengharuskan Sitti Nurbaya tunduk pada kekuasaan Datuk Meringgih. Kisah bermula ketika Datuk Meringgih merasa iri pada Baginda Sulaiman yang usaha dagangnya melejit. Lelaki tua itu tak ingin tersaingi, sehingga ia pun menyusun strategi untuk membuat bisnis Baginda Sulaiman bangkrut. Ia menyuruh orang untuk membakar toko yang dimiliki Baginda Sulaiman, meracun kebun kelapa yang dimilikinya sehingga pohon-pohon kelapa itu tidak berbuah dan membusuk, juga menghasut partner bisnis Baginda Sulaiman agar beralih padanya. Sesuai dengan keinginannya, Baginda Sulaiman pun mengalami kebangkrutan.
Datuk Meringgih menawarkan bantuan, namun dengan bunga yang tinggi itu, Baginda Sulaiman tak mampu membayar hutangnya, hingga pilihan sulit pun harus diambilnya. Menyerahkan dirinya menjadi tahanan atau menyerahkan putri kesayangannya pada Datuk Meringgih. Nurbaya, yang sangat mencintai ayahnya, memilih untuk mengorbankan dirinya sendiri.
Karena tak tahan dengan Datuk Meringgih, Nurbaya memutuskan untuk melarikan diri, namun itu tak bertahan lama karena Datuk Meringgih dapat membawanya kembali dengan taktik liciknya. Tak berhenti sampai disitu, Datuk Meringgih menyuruh orang untuk membunuh Sitti Nurbaya dengan meracuninya.
Mengetahui kekasihnya telah tiada, Samsulbahri tak lagi memiliki keinginan untuk hidup. Ia kemudian bergabung menjadi prajurit kolonial, dengan tujuan agar lebih mudah menemui kematian. Setiap ditugaskan ke medan perang, ia berharap bisa mati. Namun sayang, usahanya untuk "bunuh diri" tak tersampaikan, bahkan ia justru berhasil mengalahkan musuh-musuhnya sehingga dianggap sebagai prajurit berprestasi dan mendapatkan pangkat letnan.
Sepuluh tahun berlalu. Samsu yang saat itu telah berganti nama menjadi Mas, ditugaskan ke Padang untuk melawan Datuk Meringgih yang saat itu memimpin suatu revolusi melawan pemerintah Hindia Belanda sebagai protes atas kenaikan pajak belasting.
Dalam peperangan menghadapi Datuk Meringgih ini, Samsu berhasil membalaskan dendamnya, meski ia sendiri mengalami luka yang cukup berat. Setelah bertemu dengan ayahnya dan meminta maaf, ia pun meninggal dunia.
Setelah mengetahui ringkasan ceritanya, ada baiknya kita melihat unsur intrinsik dalam novel karya Marah Rusli ini:
1. Sitti Nurbaya
Nurbaya adalah anak tunggal dari Baginda Sulaiman. Sosoknya digambarkan sebagai seorang gadis yang tak hanya memiliki paras cantik, namun kelakuan dan adatnya, tertib dan sopan santunnya, serta kebaikan hatinya, tidak kalah cantik daripada parasnya.
2. Samsulbahri
Sam, begitu ia dipanggil, adalah putra tunggal dari Sutan Mahmud Syah, seorang Penghulu di Padang. Selain pandai, ia juga baik, tertib, sopan santun, halus budi bahasanya, lurus hati dan bisa dipercaya. Meski ia halus, namun ia juga pemberani dan suka membela kebenaran.
3. Datuk Meringgih
Datuk Meringgih adalah tokoh antagonis di novel ini. Meski sebenarnya ada beberapa tokoh antagonis lain, seperti: Rubiah dan Sutan Hamzah (saudara kandung Sutan Mahmud Syah), juga beberapa anak buah Datuk Meringgih, akan tetapi Datuk Meringgih adalah sumber dari segala derita yang dialami Baginda Sulaiman hingga berimbas pada keberlangsungan cinta antara Sitti Nurbaya dan Samsulbahri. Jika Datuk Meringgih tak ada, tentu cerita cinta Sitti Nurbaya dan Samsulbahri tak akan berakhir setragis itu.
Datuk Meringgih adalah seorang saudagar Padang yang termahsyur. Sesungguhnya ia bukan berasal dari keturunan orang berada dan terhormat, tetapi hidupnya berubah. Kekayaannya dimana-mana. Orang-orang menaruh hormat padanya karena kekayaannya itu. Tiada seorang pun yang dapat melawan kekayaannya. Akan tetapi, sifatnya buruk, ia teramat kikir. Jika harus mengeluarkan uang, ia akan berpikir berkali-kali. Ia tidak bakhil untuk satu hal; perempuan.
Rupanya buruk, usianya lanjut, pakaian dan rumah tangganya kotor, adat dan kelakuannya kasar dan bengis, bangsanya rendah, pangkat dan kepandaian pun tak ada, selain daripada kepandaian berdagang.
Marah Rusli menggunakan alur maju dalam menceritakan novel ini. Bermula dari masa Sitti Nurbaya dan Samsulbahri bersekolah bersama, hingga beberapa waktu kemudian Samsulbahri merantau ke ibukota. Lalu kisah-kisah memilukan yang menimpa keluarga Sitti Nurbaya hingga akhirnya gadis itu harus bersedia menyerahkan masa depannya pada Datuk Meringgih, dan berakhir pada kisah heroik yang dilakukan Samsulbahri terhadap musuh besarnya, Datuk Meringgih.
Meskipun tema ini termasuk mainstream, namun pada masa itu, Marah Rusli berhasil membuat kisah Sitti Nurbaya melegenda. Siapa sangka, dari tangannya, lahir Romeo-Juliet ala Indonesia? Iya, tema cinta memang tak ada habisnya, bukan?Apalagi disini, kisah cintanya dibuat sedemikian kompleks, mulai dari serba-serbi monogami dan poligami, hingga pemaksaan dalam pernikahan.
Novel Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai, mengambil tempat di Padang-Sumatera Barat, pada awal abad ke-20. Di dalamnya penulis banyak menceritakan tentang budaya Minangkabau.
Penulis menuliskan contoh adat budaya Minangkabau, bahwa apabila kita memiliki anak, maka yang bertanggung jawab terhadap anak kita adalah pamannya. Jadi, seorang laki-laki bertanggung jawab terhadap kemenakannya.
Selain itu, pada masa itu, adalah wajar jika seorang laki-laki memiliki banyak istri. Justru hal yang aneh jika seorang laki-laki, apalagi ia adalah seorang yang berbangsa tinggi, berpangkat dan terhormat, hanya memiliki satu istri saja. Kakak dari Sutan Mahmud Syah berkata, "Bukankah harus orang besar itu beristri banyak? Bukankah baik orang besar itu beristri berganti-ganti, supaya kembang keturunannya? Bukankah hina, jika ia beristri hanya seorang saja? Sedangkan orang kebanyakan, yang tiada berpangkat dan tiada berbangsa, terkadang-kadang sampai empat istrinya, mengapa pula engkau tiada?"
Novel ini kental dengan bahasa Melayu, sehingga ada beberapa kosakata yang sedikit berbeda dengan bahasa Indonesia yang kita kenal saat ini, seperti: masakan (masa?), sebagai (seperti, bagai), bila (kapan), boleh (bisa, dapat), dll.
Selain itu, seperti budaya Melayu juga ketika seseorang ingin mengungkapkan perasaan atau pikirannya, Marah Rusli menyisipkan pantun berbalas pantun. Hal ini dapat kita temui di beberapa dialog antara Samsulbahri dan Sitti Nurbaya.
Di sawah jangan memukat ikan,
ikan bersarang dalam padi
Susah tak dapat dikatakan
ditanggung saja dalam hati
Gantungan dua tergantung
tergantung di atas peti
Ditanggung tidak tergantung
sakit memutus rangkai hati
Di dalam novel ini pun akan sering kita temukan pepatah atau perumpamaan, seperti misalnya; "Arang habis, besi binasa", yang kira-kira memiliki arti bahwa semua usaha telah sia-sia.
Sudut pandang yang digunakan adalah Sudut Pandang Orang Ketiga.
Novel ini sarat akan amanat, tidak hanya dari kisah dan perjalanan Sitti Nurbaya dan Samsulbahri serta orang-orang di sekelilingnya saja, namun juga dalam "cerita dalam cerita" di dalamnya. Misalnya, ada sebuah hikayat pendek yang diceritakan oleh Sam pada Nurbaya. Dari hikayat itu, ada pesan moral yang disampaikan, bahwa; "Tiap-tiap suatu yang hendak dikerjakan atau dikatakan, haruslah dipikirkan lbih dahulu dengan sehabis-habis pikir dan ditimbang dengan semasak-masaknya; Berkata sepatah, dipikirkan, supaya jangan salah; sebab kesalahan itu boleh mendatangkan sesal yang tak habis. Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna." Dan masih banyak cerita-cerita lain yang mengandung pesan moral.
Lalu, seperti yang telah kita bahas di awal, apakah kisah Sitti Nurbaya dan Samsulbahri di novel ini seperti pemahaman orang-orang selama ini, bahwa mereka harus terpisah karena perjodohan? Ternyata tidak. Ayahanda Nurbaya tak pernah menjodohkan atau memaksa putrinya menikah dengan Datuk Meringgih itu. Apalagi sesungguhnya baik orang tua Sam maupun Baginda Sulaiman sendiri sebagai ayah Nurbaya, sesungguhnya telah merestui hubungan kedua anak ini.
Beliau hanya berkata, "Jika sudi engkau menjadi istri Datuk Meringgih, selamatlah aku, tak masuk ke dalam penjara dan tentulah tiada akan terjual rumah dan tanah kita ini. Akan tetapi jika tak sudi engkau, niscaya aku dan sekalian kita yang masih ada ini, akan jatuh ke dalam tangannya." karena saat itu memang sudah tak ada pilihan lain. Hutang yang mesti dibayarkan pada Datuk Meringgih telah menumpuk, sedangkan harta bendanya telah habis. Dan demi mendengar perkataan putus asa ayahandanya itu, Nurbaya memilih mengorbankan dirinya demi ayah yang dicintainya.
Memang seperti memakan buah simalakama, tak ada pilihan yang baik untuknya.
Judul: Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai
Pengarang: Marah Rusli
Genre: Novel
Penerbit: Balai Pustaka
Tahun Terbit: 1922