Kalau guru-guru menulis saya mengatakan, karya fiksi yang
bagus adalah yang membuat orang terkesan sejak kalimat pertamanya, maka novel
ini sudah bisa dikatakan novel yang bagus karena saya terkesan sejak kalimat
pertama, dan mata saya lekat hingga tak terasa habis satu bab.
Novel ini diawali dengan kisah yang mengharu biru, hingga
air mata menitik. Namun saya bersyukur, meski dua tokoh central dalam novel ini
memperjuangkan hidupnya mati-matian hingga jungkir balik, kisahnya berakhir
dengan bahagia. Ini membuat saya makin percaya, bahwa setelah kesulitan ada
kemudahan.
Enong, diceritakan terlahir dari keluarga yang amat miskin.
Takdir menempanya, hingga ia menjadi sekuat besi baja. Jika engkau merasa
hidupmu tak pernah bahagia, lihatlah Enong ini, kehidupannya jauh, jauh lebih
sulit dari yang mungkin engkau rasa.
Kisah sedih Enong bermula ketika ayahnya, tulang punggung di
keluarganya, meninggal karena tertimbun tanah di tambang timah. Padahal saat
itu, Ayahnya tengah memberikan kejutan kepada ibunya, Syalimah, sebuah sepeda,
yang rencananya akan dipakai untuk bersama-sama pergi ke pasar malam, malam
harinya. Betapa kebahagiaan itu bisa terenggut dalam beberapa detik saja.
Dan saya pun semakin mengimani ke-Mahakuasa-an Allah Ta’ala.
Apa yang Allah kehendaki, tak ada yang tak mungkin terjadi.
Enong, gadis cilik yang baru duduk di kelas 6 SD itu, mesti
merelakan pendidikannya. Ia harus mengubur mimpinya menjadi guru bahasa Inggris, pelajaran yang amat disukainya. Ia harus ikhlas keluar sekolah tanpa
ijazah, karena sebagai anak sulung ia memikul tanggung jawab sebagai tulang
punggung.
Dan tahukah, ada yang lebih perih mengiris-iris. Jika ibunda
Enong dihadiahi sepeda tanpa bisa menikmatinya dengan suaminya – sang lelaki
penyayang – maka Enong, telah cukup bahagia dengan Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar: 1.000.000.000 Kata pemberian
almarhum ayahnya. Jika sedang dilanda rindu dan sendu, ia membaca pesan yang
dituliskan sang ayah di halaman depan.
Buku ini untuk anakku, Enong.
Kamus satu miliar kata.
Cukuplah untukmu sampai bisa menjadi guru bahasa Inggris seperti Ibu
Nizam.
Kejarlah cita-citamu, jangan menyerah, semoga sukses.
Tertanda,
Ayahmu
Suatu hari di Kantor Pos, Enong
dewasa berjumpa dengan Ikal (Andrea Hirata). Tidak, kelanjutan kisah mereka tak
seperti cerita kebanyakan, yang biasanya membuat sebuah pertemuan berakhir dengan
percintaan. Karena sebuah kata dalam bahasa Inggris, Enong dan Ikal akhirnya dekat dan
menjadi sahabat. Enong memang selalu kagum dengan orang yang pandai berbahasa
Inggris. Dan kata yang mendekatkan mereka itu adalah; wound. Luka.
"Time heals every wound, waktu akan menyembuhkan setiap luka."
Saat bertemu dengan Enong ini,
sesungguhnya Ikal juga sedang terluka. Bagaimana tidak? Satu-satunya perempuan
yang dicintainya, A Ling, dikabarkan akan dilamar oleh seorang pria yang
tinggi, tampan, dan multi talenta. Zinar, nama pria yang beruntung itu.
Setidaknya, kabar inilah yang disampaikan oleh M. Nur, detektif di kampungnya.
Andrea Hirata pun berusaha
menemui A Ling, namun yang dinanti-nanti tak pernah ada di rumah. Ia semakin
pupus harapan. Rasa cemburu merasuki hatinya. Kalau cinta itu buta, rasanya
memang benar adanya.
Entah, apakah kisah Ikal disini
adalah kisah nyata yang dialami Andrea Hirata. Yang jelas, seperti di novelnya
terdahulu – Tetralogi Laskar Pelangi – Andrea Hirata mengemas kepedihan dengan
jenaka. Seperti di halaman 258, saya dibuat terpingkal-pingkal ketika membaca
kisah Ikal yang dibonceng dua sahabatnya, M. Nur dan Enong, pasca peristiwa
yang hampir merenggut nyawanya karena ia terobsesi menambah tinggi badannya
barang empat senti.
Patah hati membuat Ikal semakin
terpuruk. “Dan andai kata kesedihan karena putus cinta dapat dibasuh air hujan,
aku mau berdiri di bawah hujan dan halilintar, sepuluh musim sekalipun.” – Hlm.
283
Di halaman berikutnya, memasuki
mozaik (bab) ke-40, kepedihan Ikal terurai. Ternyata informasi yang diberikan
detektif M. Nur selama ini salah. Nah, inilah yang saya maksud dengan happy ending itu. Pada akhirnya, setelah
jungkir balik berusaha mengalahkan Nizar, hingga nyawa yang satu-satunya itu
hampir melayang, Ikal kembali bisa tersenyum dan tidur dengan tenang.
Melalui Jose Rizal – Merpati pos
yang telah dilatih M. Nur – detektif itu menyampaikan permohonan maafnya pada
Ikal. Kasus antara Ikal vs A Ling telah usai. Namun Ikal masih harus menyelesaikan sebuah pe er dengan sang ayah. Akankah kemudian ayahanda Ikal menyetujui hubungannya dengan perempuan Tionghoa itu?
“Ayah, pulanglah saja sendirian
Tinggalkan aku
Tinggalkan aku di Padang Bulan
Biarkan aku kasmaran”
(penggalan puisi Ada Komidi Putar di Padang Bulan)
Novel ini komplit. Kisah pilunya
membuat menangis, dan kisah bahagianya membuat saya tertawa hingga mengeluarkan
air mata. Kini saya penasaran dengan Novel Kedua Dwilogi Padang Bulan, Cinta di
Dalam Gelas.