Menurut saya, bagus atau tidaknya sebuah novel ditentukan oleh
sejauh mana novel itu bisa "mengganggu pikiran" pembacanya.
"Mengganggu pikiran" disini artinya, apapun kegiatan yang kita
lakukan, jalan cerita novel yang sedang kita baca masih terngiang-ngiang di
kepala.
"Negeri Neri", sebuah novel karya Sari Safitri
Mohan, berhasil mengalihkan dunia saya hingga beberapa hari. Saya terjebak
dalam belantara hutan "Negeri Neri" sampai beberapa waktu. Mungkin bisa
dibilang, saya sulit untuk move on
dari kisah itu.
Sebenarnya, novel ini sudah terbit sejak 2012 lalu, tapi
saya baru menikmatinya setelah seorang teman memberikan novel ini pada saya.
Kalau saya tau gimana bagusnya novel ini, saya tidak akan sayang mengeluarkan
uang untuk membelinya. Serius.
Ada cerita di dalam cerita, begitulah kira-kira cara penulis
novel ini menuangkan idenya. Seperti anakan sungai yang bercabang-cabang,
akhirnya mereka bertemu dalam satu muara.
Berawal dari kisah Mala,
gadis cilik berusia enam tahun, yang tersesat dalam rimbunnya hutan di belakang
rumahnya. Di dalam hutan itu ia berjumpa dengan Ibu Bunga. Untuk selanjutnya,
Ibu Bunga mendongengkan perjalanan hidup seorang Elin, yang ternyata merupakan
anak dari kakek bertelinga kanan setengah. Ibu Bunga menyampaikan cerita itu
episode per episode, setiap kali Mala mengunjungi tempatnya.
Selanjutnya, Mala menceritakan dongeng yang didengarnya dari
Ibu Bunga kepada Flora kakaknya, yang mempunyai hobi menulis.
"Kak, memang
gimana rasanya laki-laki dan perempuan yang berpelukan dan hujan-hujanan?"
Flora seperti tersengat listrik seribu watt mendengar
pertanyaan Mala. Namun Flora memutuskan untuk mendengarkan cerita Mala meskipun
rasa penasaran akan kebenaran cerita yang disampaikan Mala demikian besar.
Cerita-cerita Ibu Bunga, yang disampaikan pada Mala dan
ditulis ulang oleh Flora, diterbitkan di majalah sekolah. Sambutan yang baik
dari para pembacanya, membuat Flora didaulat untuk masuk ke dalam tim redaksi.
Masalah kemudian timbul. Klimaks dari novel ini adalah
ketika Flora hilang. Ia diculik untuk mempertanggungjawabkan tulisannya, karena
ada pihak yang merasa bahwa "Negeri Neri" sebenarnya bukan merupakan
karya fiksi, namun ada unsur pencemaran nama baik. Semua merasa kehilangan,
hingga suatu hari salah satu dari penculiknya menyerahkan diri.
Sampai di halaman 254, jantung saya berdebar lebih cepat.
Saya memang begitu, menikmati setiap kata yang saya baca, sehingga seolah-olah
saya benar-benar berada di dalamnya. Dikisahkan, pelaku penculikan mengakui
bahwa ia menculik dan menghilangkan nyawa Flora.
"Saya taruh dia
di dekat sungai yang banyak buayanya. Saya tunggu dari jauh sampai saya lihat
seekor buaya memakannya." akunya, saat ditanya bagaimana caranya membunuh Flora.
Duh, disitu saya sempat kecewa. Koq, tokoh Flora dibuat
meninggal sih? Tapi ternyata kisah novel ini belum berakhir. Masih banyak
keterkejutan-keterkejutan yang dibuat oleh penulis, hingga saya meyakini bahwa
penulis merupakan orang yang jenius karena berhasil membuat cerita berputar-putar, sambung-menyambung, namun sama sekali tidak terkesan dipaksakan.
Ada beberapa tokoh penting dalam novel ini;
1. Mala. Gadis cilik penyambung lidah Ibu Bunga. Tanpanya,
Ibu Bunga tak akan bisa menguak tabir ketidakadilan yang menimpa dirinya.
2. Ibu Bunga. Darinya, awal cerita yang rumit ini bermula.
3. Flora. Ia menjadi jembatan yang menghubungkan dongeng
dengan kenyataan, melalui tulisan.
4. Elin. Dirinya lah, muara semua kisah.
5. Aria. Laki-laki ingkar. Darinya kita bisa mengambil
pelajaran, bahwa laki-laki akan mengeluarkan seluruh daya upaya untuk
mendapatkan apa yang ia inginkan. Namun setelah impian didapatkan, dirinya tak lagi
penasaran, ia akan lupa dengan apa yang pernah dijanjikan.
6. Momon. Nah, ternyata sosok ini punya kejutan. Ternyata ia
adalah Laks, saksi hidup perjalanan kisah Elin dan Aria.
7. Rio. Pemimpin redaksi majalah Suluh, yang menerbitkan "Negeri Neri".
7. Rio. Pemimpin redaksi majalah Suluh, yang menerbitkan "Negeri Neri".
8. Anggi. Lewat kelihaiannya dalam men-sketsa, ia bisa
menggambarkan sosok Ibu Bunga, melalui arahan Mala. Sketsa yang dibuatnya berhasil mengobati kehampaan yang selama ini dirasakan kakek bertelinga kanan setengah.
Dan kisah "Negeri Neri" ini pun diakhiri dengan epilog yang indah;
Cinta kita memang pernah indah meski engkau akhirnya membungkamku. Teriakan kecilku telah terdengar, meski lonceng asmaradana usai. Aku telah kauhanguskan. Dan api khianatmu membuatku bagai kertas putih panjang yang telah habis jadi abu. Tapi senyumku pada sepi ini, kini melegakanku.
Cinta kita memang pernah indah meski engkau akhirnya membungkamku. Teriakan kecilku telah terdengar, meski lonceng asmaradana usai. Aku telah kauhanguskan. Dan api khianatmu membuatku bagai kertas putih panjang yang telah habis jadi abu. Tapi senyumku pada sepi ini, kini melegakanku.
Jangan kaulupakan aku.
Jangan pernah
kauhilangkan jejakku.