Ada rasa sedih tiap kali melihat olahan makanan laut terhidang di depan mata. Bukan apa-apa, sepenuh hati ingin ikut menikmati, tapi apa daya tubuh saya selalu protes jika termasuki. Mulut rasanya ingin ikut menyantap mereka, tapi tubuh enggan menerima.
Baca: My Allergy Story
Saya punya pengalaman buruk dengan olahan udang...
Suatu hari, saya diajak saudara saya ke bioskop untuk menonton film yang sedang ramai dibicarakan. Selepas dhuhur kami berangkat menuju sebuah mall, berharap bisa menonton film tersebut di jam satu siang. Namun, apa mau dikata, setelah berhasil menembus antrean yang amat panjang untuk membeli tiket, kami malah kebagian jadwal pemutaran di enam jam berikutnya, alias jam tujuh malam.
Karena malas pulang ke rumah, kami memutuskan untuk "membunuh waktu" dengan berjalan-jalan keliling mall. Tiba di depan sebuah restoran Jepang, saudara saya mengajak saya untuk masuk. Lapar katanya. Saya tau saya alergi udang, maka dari itu saya hanya memesan beberapa menu berbahan ayam. Tapi, melihat menu yang dipesan saudara saya, saya tergoda untuk mencicipinya juga.
"Tukeran yak..." kata saya sambil mengulurkan tangan untuk mengambil makanan yang menggoda iman saya.
"Mmm, ini rasanya nggak kayak beef, tapi juga nggak mirip ayam. Apa sih ini?" tanya saya. Walaupun rasanya asing, tapi saya tetep lahap. Lha wong enak sih, yaa... Hihi...
"Itu kan shrimp roll, Rin... Udang." jawabnya santai.
Dan entah karena sugesti atau apa, tiba-tiba mulut saya seolah menebal, pipi mulai kesemutan, tenggorokan langsung terasa gatal, nafas saya pun mulai sesak.
"Eh, kamu alergi udang?" tanya saudara saya. Ia makin panik setelah mendengar nafas saya mulai berbunyi ngik ngik ngik...
"Aduh, kenapa nggak bilang?" Hmmm... Udah sakit, dimarahin pula. Ya memang salah saya juga sih, harusnya tanya dulu itu makanan apa, baru dimakan.
Akhirnya, kami memutuskan untuk pergi ke toko buku supaya pikiran saya tidak fokus dengan sensasi alergi yang tubuh saya rasakan. Namun, semua usaha sia-sia. Rasa gatal dan sesak nafas itu tetap terasa.
"Aduh, aku nggak tahan lagi. Huhuhu, aku nggak mau mati di sini." Saya mulai menangis dengan nafas yang kembang kempis. Tak cuma itu, mata saya pun semakin menyipit karena tertutup pipi yang memerah dan membengkak.
Saudara saya semakin ketakutan, dan akhirnya ia pun mengajak saya pulang. Sampai di rumah, saya diberi sebutir obat, dan secara ajaib lima menit kemudian alergi saya benar-benar hilang. Saya pun memaksa saudara saya untuk segera kembali ke bioskop, karena film akan segera diputar. Hahaha...
Pengalaman buruk dengan udang itu membuat saya was-was. Saya jadi menghindari udang dan sebangsanya setiap kali makan di luar.
Namun, ketika hamil anak pertama, saya yang sedang ngidam benar-benar ingin sekali mengunyah sate udang yang warnanya sangat menggoda. Suami saya, karena tau riwayat alergi yang pernah saya alami, berkali-kali menolak membelikan karena khawatir saya dan janin akan kenapa-kenapa. Hingga kemudian, karena tidak tahan dengan rengekan saya, suami pun menyerah. Beliau membelikan setusuk sate udang untuk saya. Iya, setusuk doang. Namun, melihatnya, mata saya langsung merekah.
"Makan satu aja dulu, nanti kalau terasa gatal, jangan dilanjutin lagi. Kalau sesak nafas, kita langsung ke dokter." Katanya, sambil menyiapkan segelas susu dan air kelapa.
Saya mengangguk, sambil mengunyah sate udang yang saya idamkan. Tak lupa saya berdo'a dengan khusyuk supaya Allah melindungi saya dari buruknya makanan yang saya makan.
Alhamdulillah, saat itu saya tidak merasakan keluhan apapun. Masya Allah... Apakah ini karena do'a yang saya panjatkan, atau karena si janin di dalam kandungan? Wallahu a'lam, karena kenyataannya, setelah bayi saya lahir, saya kembali merasakan gatal-gatal jika memakan sesuatu yang berbau seafood.
Rasanya iri deh melihat orang lain dengan tenangnya mencocolkan udang crispy ke saus sambal, atau menyiramkan cumi-cumi asam manis ke atas nasi hangat, atau menyantap hidangan kepiting saus padang yang menggoda selera. Kapan saya bisa menikmatinya? Apa harus hamil dulu, ya?