Ada yang lucu kemarin pagi. Ketika tukang sayur langganan
memanggil-manggil ibu-ibu sekomplek, Mas Amay dengan semangat menyuruh saya
berbelanja. Dia ikut, pasti.
Sambil jongkok, dia melihat-lihat sayuran segar. Matanya
tertuju pada sebungkus wortel yang berwarna oranye. Warnanya yang segar memang
terlihat menggoda.
“Ma, beli wortel, Ma!” Pintanya.
“Oke,” jawab saya, “Memangnya Mas Amay pingin dimasakin apa
sih?” tanya saya kemudian.
“Ya masak wortel aja. Mas Amay ‘kan bisa motongnya,”
katanya. Kemudian saya terpikir untuk membuatkan sop ayam, wortel, buncis, dan
makaroni untuknya.
Mas Amay memang terbiasa "membantu" saya memasak. Memotong-motong sayuran lebih tepatnya. Alhamdulillah, sejak kecil dia sudah terbiasa makan sayur. Cara saya ini (membiarkannya membantu saya memasak), ternyata bisa menambah kecintaannya pada sayur. Terbukti, Amay yang sebelumnya kurang menyukai brokoli, berubah menjadi sangat suka setelah saya mempercayakan "proses pemotongan" brokoli padanya.
Oke, dan saat memasak pun tiba. Saya mempersiapkan
sayur-mayur. Sambil menemani Adik Aga dan Mas Amay yang sedang bermain lego,
saya mulai meracik sayuran yang akan saya masak. Adik Aga saya dudukkan di "singgasana".
Beres, semua sayuran sudah siap dimasak. Saya memutuskan
untuk memasak setelah Aga tidur nanti. Tiba-tiba Mas Amay memandang lama ke
arah saya, juga sayur-sayuran itu. Lego dan mainan-mainannya ia taruh. “Mama, Mas Amay tuh pingin bantuin Mama, loh.” Dia mengatakannya
sambil menangis. Oh, rupanya sedari tadi dia sudah menantikan saat memotong
sayur, akan tetapi dia tidak menyadari bahwa saya sudah mulai meracik semuanya
saat ia asyik bermain. Duh, saya bisa membayangkan betapa kecewanya dia.
Mas Amay, tanpa berkata apapun, langsung pergi. Ia masuk ke
kamar. Hmm...saya ikut menyesal karena telah menghancurkan rencana yang sudah
disusunnya sejak pagi. Saya pun membiarkannya sendiri.
Sambil menunggu amarahnya reda, saya membereskan mainannya.
Biasanya saya menyuruhnya melakukan hal ini sendiri. Tapi kali ini, demi
menebus rasa bersalah saya padanya, saya membantunya beberes mainan.
Tak lama kemudian, Adik Aga terlihat mengantuk. Saya
bergegas meninabobokannya. Mungkin semua ibu tanpa asisten sama seperti saya. Sambil
menggendong atau menyusui si kecil, pikiran terus mendata apa-apa yang akan
kita lakukan selagi si kecil tidur, hehe..
Setelah menidurkan si kecil, saya menuju kamar dan bersiap
untuk berbicara pada Mas Amay. Dan oouw, saya kecewa. Mas Amay ternyata sudah
tidur. Duh kasihan sekali. Ia membawa rasa kecewanya hingga tertidur.
Memang ya, cara seseorang untuk mengungkapkan kemarahan berbeda-beda. Ada yang melakukannya sambil membanting segala benda di dekatnya, ada yang mengungkapkannya dengan kata-kata yang keras, ada juga yang seperti Mas Amay ini, mengutarakan kekecewaannya kemudian diam atau tidur.
Sebenarnya, ada beberapa macam gaya marah, antara lain;
1. Marah yang Diungkapkan.
Menurut pakar, cara paling sehat ketika marah adalah mengutarakan penyebab kemarahan secara tegas, tanpa ada kesan menyerang.
2. Marah yang Dipendam/Ditahan.
Orang yang marah berusaha untuk menahan amarahnya, namun tidak berusaha untuk mengungkapkan, sehingga tidak bisa dicarikan solusinya. Jika amarah sering dipendam tanpa dicarikan solusinya, lama kelamaan bisa menimbulkan depresi.
3. Marah yang Diredakan.
Cara yang ke tiga ini yaitu, marah dengan mengendalikan sikap, serta menenangkan hati dan perasaannya.
Mungkin gaya marah Mas Amay termasuk yang pertama dan ketiga. Mengungkapkan penyebab amarahnya, kemudian ia berusaha meredamnya dengan menyendiri untuk menenangkan hati dan perasaannya.
Jadi ingat sebuah hadits yang berbunyi; "Laa taghdhob walakal jannah" yang artinya, "Jangan marah, maka surga bagimu". Dan manusia yang paling kuat bukanlah ia yang selalu menang dalam perkelahian, namun yang paling kuat adalah ia yang bisa mengendalikan amarahnya.