”Selamat ya ukh, akhirnya
mengudara juga,”
katanya sambil menatap
gadis itu.
”Kalau bukan karena
bantuan kakak, saya mungkin belum jadi penyiar
sekarang. Saya sangat berterima kasih atas pertolongan
kakak.” Jawab Hilma
malu.
”Ah, itu cuma kebetulan,
koq. Coba saya tahu dari dulu kalau anti punya
cita-cita jadi penyiar, pasti sudah dari dulu juga
saya kenalkan pada Pak Fatah.
Saya kenal beliau sudah lama, sejak beliau mulai dakwah ke sekolah-sekolah,
kemudian berlanjut ketika beliau mendirikan radio dakwah ini.”
”Oh..”
”Ya sudah, anti mau pulang kan? Yuk kuantar.”
”Ah, terima kasih kak
sebelumnya. Saya pulang
sendiri saja.”
”Baiklah.” Fadil tahu mengapa gadis cantik itu tak mau ia
antar. Ia adalah gadis sholikhah, yang mengerti batasan-batasan dalam pergaulan dengan lawan jenis.
Fadil mengaguminya sejak pertama
kali bertemu, di sebuah acara di kampus
mereka. Dia mengenalnya sebagai adik angkatan yang cerdas, namun selalu rendah
hati. Bicaranya sopan,
hanya bersuara jika diperlukan.
Tak seperti kebanyakan
gadis jaman sekarang.
Waktu pun berlalu, hubungan mereka
kian dekat. Selalu ada cerita untuk dibicarakan dan dibahas bersama. Istilah
kerennya, sudah ada chemistry. Hilma, gadis cantik itu kini memendam rasa yang
tak sama pada lelaki di
hadapannya. Namun, rasa
itu hanya mampu dipendamnya hingga batas waktu
yang ia sendiri tak tahu. Ia berharap
dalam do'a agar Kak Fadilnya segera mengetahui isi hatinya.
”Aku tak mungkin mengungkapkannya duluan,” begitu katanya pada Rani, sahabatnya di radio.
Di tempat lain, Fadil, yang selama
ini menaruh rasa yang sama, sedang memikirkan cara yang paling berkesan untuk meminang
gadis pujaannya itu. Ia
tak mau pinangan yang
biasa-biasa saja untuk gadis teristimewa.
Di tengah pengharapan akan cinta sucinya, handphone Hilma berdering. Bapak di seberang sana bertanya ”Nduk, kapan kamu bisa pulang?”
”Memangnya ada apa, Pak?”
”Gini, bapak sama ibu mau kedatangan
tamu. Keluarga Bayu. Kamu ingat kan, teman baik bapak,
Pak Waluyo? Beliau kemarin mengutarakan keinginannya untuk meminangmu menjadi
menantunya, menjadi pendamping Bayu. Kamu setuju kan, Nduk?”
Masya Allah, kabar
dari Bapak bagai petir di siang bolong yang
menyambar dan merobohkan pohon
impiannya. Tak mungkin
ia menolak. Keluarga Bayu adalah keluarga baik-baik, Bayu pun begitu. Dia teman kecil
Hilma. Sholih, cerdas, aaahhh, tak ada alasan untuk tidak menerimanya. Namun
demi orang tuanya, Hilma merelakan semua. Hilma pulang
dengan penantian yang
tlah usai.
Esoknya, Fadil
mencari Hilma di radio tematnya bekerja. ”Hilma
mana Ran? Hari ini dia siaran kan?”
tanyanya pada Rani.
”Hilma cuti mendadak, Kak.
Dia akan segera menikah dengan laki-laki pilihan
orang tuanya. Dia menitipkan
salam takzim untukmu Kak.”Jawab
Rani yang telah mengetahui kisah mereka. Ada rasa haru ketika ia menyampaikan salam dari Hilma untuk
Fadil. Tak tega rasanya, melihat dua insan yang saling menyayangi harus berpisah, namun bukan karena
keinginan mereka sendiri.
Fadil terduduk
dengan lunglai. Lama ia terdiam. Matanya mulai mengembun. ”Kandas sudah,” ucapnya dalam hati, kemudian
melangkah pergi.