Pernah nggak, merasa marah banget sama seseorang karena orang tersebut udah judging, bahkan labeling anak kita? Kalau hanya kita yang diejek, mungkin kita bisa cuek. Tapi kalau udah bawa-bawa anak kita, darah daging kita yang kita rawat sedemikian rupa sedari ia berupa gumpalan daging, wajar kan ya kalau kita nggak terima?
Begini, anak kedua saya memang sedikit mengalami keterlambatan bicara. Dan sejak pertengahan tahun lalu, di usianya yang hampir 3 tahun, saya mengajarinya mengucap suku kata per suku kata. Tujuannya untuk melatih dan melemaskan organ bicaranya.
Saya bukan orang yang abai terhadap perkembangan anak. Saya peduli, dan saya pun mengamati, memang perkembangan bicaranya sedikit lambat jika dibandingkan dengan waktu kakaknya seusianya. Tapi saya tidak rela jika ia disebut bisu, bahkan tuli. Jika teman-teman menjadi saya, sakit hati tidak jika ada seseorang mengatakan seperti ini, "Aga, jangan bisu dong! Ayo ngomong. Itu si A udah bisa nyanyi." Ini udah judging, comparing lagi. Periiih...
Saking sedihnya, saya sampai membuat tulisan ini: Mengapa Anak Saya Belum Bisa Bicara?
Waktu berlalu, sakit hati saya telah hilang, saya pun telah memaafkan, meskipun belum bisa melupakan. Tapi, beberapa waktu lalu, orang yang sama dengan yang dulu, kembali berkata, "Coba diperiksakan telinganya, takutnya ada gangguan pendengaran."
Saya sakit sekali. Sempat bertanya-tanya, sebenarnya beliau ini sering memperhatikan Aga atau tidak? Apakah ketika Aga diajak bicara, Aga tidak merespon dengan baik?
Saya bukan ingin membela diri. Tapi saya bisa membedakan bagaimana orang yang pendengarannya normal, bagaimana yang tidak. Salah satu sahabat saya di #bloggerKAH pun mengalami Hard of Hearing, Mbak Widut namanya. Mbak Widut bahkan menjelaskan, jika mengalami gangguan pendengaran, suaranya akan sengau, tapi Aga tidak. Kami pun masih bisa berkomunikasi meski tak saling bertatap muka, artinya, Aga tidak perlu "membaca bibir" saat berkomunikasi.
Jujur, saya marah, saya sakit hati. Tapi satu yang saya syukuri, saya bukan tipe orang yang bisa dengan spontan meluapkan amarah. Jika saya demikian, tentu persoalan ini akan semakin melebar tak tentu arah. Efeknya memang, rasa marah yang terpendam ini membuat saya menangis selama beberapa hari.
Kepada saudara dan teman-teman dekat, akhirnya saya mencurahkan semua isi hati. Namun butuh waktu lumayan lama untuk menyembuhkan luka ini. Beberapa orang menyarankan untuk merekam aktivitas Aga (bagaimana ia menyanyi, bagaimana ia bicara), untuk membuktikan bahwa apa yang telah orang tersebut katakan tidaklah benar.
Ya, Aga telah menunjukkan banyak kemajuan, andai beliau mau mengakuinya. Kosakatanya sudah semakin banyak, beberapa huruf pun sudah semakin jelas. Saya pun beberapa kali mengunggah video Aga ketika berdo'a, berhitung dan bernyanyi. Untuk apa? Supaya beliau melihatnya.
Hingga kemudian, beberapa hari yang lalu saya tersadar. Saya pun menertawakan diri saya sendiri. Why should i do those stupid things (videoin Aga pas ngomong, pas nyanyi), hanya untuk membuktikan pada beliau, bahwa apa yang dipikirkannya tentang Aga tidaklah benar.
Pembuktian-pembuktian seperti itu benar-benar tak ada gunanya, sia-sia belaka.
Dan seperti kata Payung Teduh di lagunya yang berjudul "Di Atas Meja", mengapa takut pada lara, sementara semua rasa bisa kita cipta? Kita bisa memilih untuk stay cool, kalem, dan optimis, alih-alih dikalahkan oleh perasaan sedih, kesel, nggerundel, and at the end, cuma bisa nangis.
Mahatma Gandhi's Quote about forgiveness, from Quotefancy |
---
Kemudian akhirnya, setelah perenungan yang cukup panjang, saya kemudian memutuskan untuk memaafkan. Memaafkan tanpa syarat. Sungguh, ketika saya menuliskan ini, sakit hati saya sudah hilang.
Waktu itu, entah kenapa saat sholat ashar, tiba-tiba saya menangis sesenggukan. Tiba-tiba saya diingatkan kalau dosa saya ada banyak sekali, dan tidak ada lagi yang saya harapkan selain mendapatkan ampunan.
Saat itulah saya tersadar bahwa kita semua membutuhkan maaf. Kita butuh ampunan. Dan entah kenapa, lagi-lagi dengan sangat tiba-tiba, saya memutuskan bahwa saya harus memaafkan siapapun yang telah menyakiti hati saya. Siapa tau itu jadi jalan agar Allah berkenan mengampuni seluruh dosa saya.
Saya jadi teringat sebuah artikel tentang "memaafkan", yang saya baca dari Majalah Pesona sekitar tahun 2016 yang lalu. Ada quote indah sebagai pembuka.
"Memaafkan. Sepenggal kata sederhana, sulit dilakukan, tapi berdampak penyembuhan."
Percaya atau tidak, disana tertulis kisah nyata seorang Yeyen, yang sembuh dari ancaman kanker ganas di payudaranya. Dan ajaib, benjolan itu lenyap tanpa operasi, setelah ia melepaskan dendam dan sakit hati. Ia sembuh setelah melepaskan kemarahan, mengikhlaskan masa lalu, dan memaafkan.
Dari tulisan itu pun saya baru tau jika Oprah Winfrey memiliki masa kecil yang suram. Sejak usia 9 hingga 13 tahun, ia mengalami kekerasan seksual dari beberapa pria hingga melahirkan di usia 14 tahun. Ya Allah.. :(
Tapi Oprah memaafkan masa lalunya: Ibu yang meninggalkan dirinya dan orang-orang yang melecehkannya. Sekarang, semua orang tau siapa Oprah Winfrey. Ia adalah sang pemenang. :)
Pengalaman itu memberi pemahaman pada saya, sebetulnya memaafkan itu tidak sulit, tapi kenapa kita senang memelihara amarah? Mengapa kita memilih bertahan menjadi korban (iya, korban perbuatan seseorang yang telah membuat kita sakit hati, atau emosi buruk lainnya), alih-alih menjadi pemenang?
Memaafkan tidak akan mengubah masa lalu kita, tapi memperluas masa depan kita. Kenyataannya memang, saat kita marah, rasanya pikiran dan hati kita tertuju dan terkuras hanya untuk memikirkan orang yang menyakiti kita itu. Dunia kita pun jadi sempit dengan sendirinya. Rugilah kita, karena orang yang membuat kita marah sudah melanjutkan hidupnya, sementara kita stuck dalam kemarahan dan rasa sakit kita.
Terlalu banyak energi yang harus kita keluarkan untuk memelihara kemarahan dan sakit hati.
Dan sejatinya, memaafkan kesalahan orang lain, bukan merupakan sesuatu yang kita lakukan untuk orang tersebut. Kita memaafkan untuk diri kita sendiri, supaya kita menjadi lebih baik, sehingga bebas dari rasa sakit. Yes, forgive, and be free...
forgiveness, from DNA India |