Jumat, 29 Nopember 2019 kemarin,
Blogger Solo menghadiri undangan dari KPP Pratama Surakarta, dalam acara
Ngobrol Santai Pelayanan dan Manfaat Pajak bersama Kawan Dunia Maya (Kaniya).
Senang sekali rasanya, karena saya khususnya, menjadi lebih terbuka wawasannya
terkait pajak di negeri kita.
Masih adakah yang ingin mempertanyakan,
seberapa pentingnya pajak untuk negara kita?
Berkenaan dengan pajak, Menteri
Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, “Pajak itu layaknya tulang punggung
di tubuh manusia. Kalau Republik ini ingin bergerak, berdiri tegak, dihormati
rakyatnya dan disegani, maka harus ditopang dengan tulang punggung yang kuat.
Kalau rapuh, entah osteoporosis, salah bentuk, maka badan ikut kena dampaknya.”
Ya, sepenting itulah pajak untuk negara kita, karena pembiayaan negara, salah
satunya berasal dari pajak yang kita bayarkan.
Pajak itu seperti tulang punggung dalam tubuh kita. |
Apa jadinya jika kita enggan membayar
pajak? Sama halnya dengan tulang punggung yang rapuh, tentu akan membatasi
ruang gerak kita. Ini jelas merugikan. Padahal, pajak merupakan salah satu
sumber pembiayaan negara. Kurang lebih 83% dari total pendapatan negara,
bersumber dari pajak. Kegagalan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dapat
berakibat pada sendi-sendi aktivitas kehidupan bernegara dan menghambat
pencapaian cita-cita menuju masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. 1)
Maka dari itu, mari kita bersama-sama
meningkatkan kesadaran dan kepatuhan untuk membayar pajak. Karena pajak yang
kita bayarkan, manfaatnya akan kembali kepada kita juga. Jangan sampai kita
menjadi Free Rider, yaitu orang yang sebenarnya sangat mampu membayar pajak,
tetapi tidak mau membayar pajak dan hanya mau menikmati fasilitas-fasilitas yang
dibangun dengan dana pajak. Woh, lha kok sakpenake
dhewe ...
Free Rider dalam Pajak |
Biasanya, orang-orang enggan membayar pajak karena :
1. Eman-eman alias sayang sama duitnya. Itu saja. Jadi memang tidak punya iktikad
yang baik untuk ikut andil dalam membangun negeri ini.
2. Meyakini pendapat bahwa pajak itu haram hukumnya
Yang dijadikan dalil, salah
satunya adalah Q.S. An-Nisa : 29, yang berbunyi: “Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil
... “
Dari dalil di atas, pajak
dianggap sebagai salah satu jalan yang batil, karena dianggap sebagai salah
satu cara memakan harta sesamanya. Mereka yang menolak untuk membayar pajak
juga beralasan, lebih baik mengeluarkan zakat atau sedekah daripada harus membayar
pajak. Padahal, zakat yang dikeluarkan oleh umat muslim, sangat terbatas
penggunaannya. Zakat tidak boleh digunakan untuk membangun jalan raya,
membangun masjid (kecuali dalam kondisi darurat), apalagi digunakan untuk warga non
muslim. 2)
Untuk itulah, negara
membuat suatu sistem perpajakan, yang dananya diambil dari orang pribadi atau
badan, bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dan digunakan untuk negara
bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ya, Indonesia kan tidak hanya dihuni oleh
orang muslim saja to?
3. Khawatir pajak yang dibayarkan akan dikorupsi oleh oknum
yang tidak bertanggungjawab. Well guys, itu sama sekali bukan alasan untuk
lalai dari kewajiban. Yang perlu kita lakukan adalah, bayar pajaknya, awasi
penggunaannya. Lagipula, dengan membayar pajak, itu berarti bahwa kita telah ikut
berpartisipasi dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Apa ngga bikin
bangga, bro?
Sebagai bayangan, pajak yang kita bayarkan,
larinya ke mana saja sih? Nah, ini dia ilustrasinya.
Pajak untuk apa saja? |
Jadi, dari Rp 1.000.000
pajak yang kita bayarkan, dananya dibagi-bagi untuk keperluan pendidikan,
kesehatan, keagamaan, perumahan & fasilitas umum, pertahanan, pariwisata, dll.
Oh ya, di acara Ngobrol Santai kemarin,
Kepala KPP Pratama Surakarta, Bapak Eko Budi Setyono, menganalogikan pemungutan
pajak seperti seorang peternak ayam yang akan mengambil telur-telur ayamnya.
“Prinsip pajak itu, ambil telurnya, tapi jangan sampai membuat ayamnya stres. Kondisi ayam yang stres justru akan membuatnya tidak produktif. Pemungutan pajak tidak boleh seperti itu,” tutur beliau.
“Prinsip pajak itu, ambil telurnya, tapi jangan sampai membuat ayamnya stres. Kondisi ayam yang stres justru akan membuatnya tidak produktif. Pemungutan pajak tidak boleh seperti itu,” tutur beliau.
Masuk akal sih. Kalau Wajib Pajaknya
stres, penerimaan negara juga akan menurun, bukan? Dan sebenarnya, sistem
perpajakan yang dianut saat ini, yaitu self assessment system (suatu sistem yang
memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan
melapor pajaknya sendiri), sudah mencerminkan suatu upaya untuk tetap menjaga
kesehatan mental Wajib Pajaknya.
Memang, menurut saya pribadi, sistem ini memiliki kelemahan
sekaligus kelebihan, tergantung pada seberapa besar kesadaran Wajib Pajak untuk
membayar pajak. Kalau pada jujur, ya syukur. Yang ngga jujur, ya kabur.
Self Assessment System pada Pajak |
Omong-omong, tidak semua Wajib Pajak dikenai
kewajiban untuk membayar pajak, lho!
Bagi mereka yang memiliki penghasilan di atas batasan
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), wajib hukumnya membayar pajak sesuai
ketentuan. Dan bagi mereka yang penghasilannya di bawah batasan PTKP (di bawah
Rp 4.500.000,- per bulan), maka tidak ada kewajiban bagi mereka untuk membayar
pajak.
Tuh, kan, pajak tidak semengerikan apa
yang ada di pikiranmu. Yang kuat atau mampu, ya bayar lebih banyak. Yang lemah
atau tidak mampu, ya tidak perlu membayar. Seadil itu! Namun, meski terbebas
dari kewajiban membayar PPh, Wajib Pajak tetap harus membuat laporan dengan
mengisi SPT Nihil melalui formulir atau e-filing pajak lewat situs DJP online, lho ya!
Ssstt, jangan lupa, batas akhir
pelaporan SPT Tahunan adalah di tanggal 31 Maret 2020, yaa ... Pajak Kita,
Untuk Kita!
Sumber Referensi :
1) https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4114406/sri-mulyani-pajak-adalah-tulang-punggung-negara
2) https://www.pajak.go.id/artikel/pajak-haramkah