Kemarin saya tampil di MTA TV, lalu banyak yang memuji. Saya dibilang hebat lah, keren lah, padahal ... Saya masih jauh dari predikat itu.
Tahu nggak sih? Saya sebenarnya banyak kurangnya. Hanya, tidak saya tunjukkan saja.
Jauh sebelum hari ini, saya pernah berada dalam kondisi yang menyedihkan. Rendah diri, minder, pesimistis, dan kurang percaya diri. Alhamdulillah nggak sampai kepada Inferiority Complex.
Sebelum terlanjur jauh, mengutip medium.com, Inferiority Complex adalah sebuah kondisi psikologis (tingkat alam bawah sadar), ketika suatu pihak merasa inferior/lemah/lebih rendah dibanding pihak lain, atau ketika ia merasa tidak mencukupi suatu standar dalam sebuah sistem.
Nah, katanya, harus dibedakan antara minder dengan Inferiority Complex itu. Lebih jelasnya, baca tautan ini saja: Bedakan Minder dengan Inferiority Complex
Dulu, saya merasa saya ini seperti nggak ada gunanya. Saya nggak sempat menyelesaikan kuliah, karena suami meminta saya fokus mengurus anak-anak. Saya juga nggak diijinkan berkarir kembali.
Oya, biar nggak roaming, saya ceritakan mengapa saya berhenti kuliah yaa..
Jadi, saya ketemu lagi sama suami (mantan pacar) saat ibu saya meninggal. Saat itu saya baru semester 3. Semester depannya, saya dilamar. Semester depannya lagi (semester 5), saya menikah. Bukan karena married by accident lho yaa, karena saya hamil anak pertama pun baru 7 bulan setelah menikah. Saya menikah karena memang saya nggak ingin pacaran.
Tadinya, setelah pindah ke Solo untuk ikut suami (7 bulan saya menjalani long distance marriage antara Bogor dan Jogja-Solo), saya mau melanjutkan kuliah lagi. Eh, malah hamil, dan kondisi saya kurang baik, karena saat hamil Amay, saya mual muntah sampai usia kandungan 7 bulan. Yowis, terpaksa diundur dulu rencana kuliahnya. Trus kebablasan deh, karena suami bilang, mending jagain Amay aja dulu. Mau kerja pun dilarang, lagi-lagi karena Amay.
Alasannya memang sangat masuk akal sih. Kebetulan saya adalah mantan guru TK. Pertama, menurut suami saya, saya lebih dibutuhkan oleh anak saya dibandingkan oleh anak-anak orang lain. Kedua, gaji guru TK nggak sebanding dengan gaji tenaga untuk menjaga anak saya.
Oke, akhirnya saya terima alasan suami, meski tetap ada ganjalan di hati.
Saya sering didera perasaan sedih dan menyesal. Dan rasa itu bertambah-tambah, saat membuka timeline Facebook, saya melihat teman-teman kuliah berbahagia memakai toga. Saya mulai berandai-andai, betapa bahagianya jika saya ada di sana juga.
Saya mulai minder ketika teman-teman SMA semakin terlihat menawan karena karirnya yang mapan. Sementara saya? Bau ompol dan bau bawang. Kadang bahkan sampai lupa sisiran. Jangankan wajah, pakaian saja hampir tak terperhatikan.
Ngenes ya?
Ngenes ya?
Saya pun berandai-andai lagi, jika bisa menarik waktu kembali, saya mending nggak usah masuk SMA 1 Purworejo saja. Mendingan saya ke SMA lainnya, yang jika nggak kuliah pun akan terasa baik-baik saja. Dan malah jadi luar biasa jika ada alumni yang bisa melanjutkan studinya.
Rupanya Allah menjadikan saya sebagai alumni SMA 1 yang "luar biasa", karena mungkin cuma saya yang nggak jadi sarjana. Hahaha... *ketawa ngenes
Tapi, suami saya rupanya tak sekedar melarang tanpa memberikan solusi. Suami saya membuatkan blog ini, meski gratisan, lalu menyuruh saya mencari komunitas untuk berlatih menulis dan mencari teman. Maklum, di Solo, saya nggak kenal siapa-siapa.
Sampai akhirnya, saya bertemu dengan IIDN, lalu KEB. Dari dua komunitas itu saya belajar menulis dan memperkaya diri.
Memang tidak ada yang instan. Saya mulai belajar menulis sejak 2013, dan baru mulai merasakan hasilnya belakangan ini.
Mengutip pesan Pak Supeno, dosen saya, "Berjalanlah di atas kekuranganmu, maka kamu akan unggul di situ," saya yang tadinya sangat buruk dalam hal mengarang dan berimajinasi, akhirnya malah mencari rezeki dari sini.
Jadi teman-teman, kelemahan bukan untuk diratapi, tapi untuk dijadikan motivasi. Lagipula, kata Cak Nun di bukunya yang berjudul "Secangkir Kopi Jon Pakir", campus is not the only way to be someone. Jadi, teman-teman yang senasib dengan saya, harus tetap semangat yaa... 😊😊
Aku lho ingin menangis membaca tulisan ini, di bagian kuliah. Ada hal yang mungkin agak mirip di situ. Bedanya, aku sendiri yang ingin berhenti. Eh, masih dipertimbangkan sih, tapi lebih ingin berhenti. Di saat mulai mantap, ada aja bayangan nanti gimana saat ngelihat teman sudah lulus semua. Gimana kalau begini? Gimana kalau begitu? Meskipun, sampai di titik ini aku benar-benar merasakan bahwa aku enggak butuh menjadi sarjana. Tapi, ya galau juga. Karena membuat keputusan terkait hal tersebut ternyata sebegitu susahnya. Yah, aku curhat~
ReplyDeletetante, ayo diselesaikan aja, supaya ngga menyesal. ngga masalah kalau gelar sarjananya ngga terpakai nantinya. :)
DeleteBetul betul.. Tidak ada yang tahu jalan rejeki kita juga kan
Delete