Sebut saja dia Bunga, perempuan lajang berusia tiga lima. Dia sulung dari tiga bersaudara. Dia sedang frustrasi karena dua adiknya mau melangkahi.
"Tahun
lalu kami disuruh menunggu. Oke, kami tunggu. Nyatanya, setahun ini
kakak belum dapat pendamping juga. Sampai kapan kami harus menunda?"
Protes sang adik, tak mau menanti yang tak pasti.
Bunga
pun meminta bantuan pada para sahabatnya untuk mencarikan jodoh yang
sesuai dengan kriterianya. Nggak harus mapan, tapi dia harus smart, dan yang paling penting harus berzodiak Scorpio, atau Pisces, atau Taurus.
"Kenapa harus Scorpio? Atau Pisces? Atau Taurus?" tanya salah seorang temannya.
"Soalnya,
dari yang aku baca di Primbon, cuma Scorpio, Pisces dan Taurus yang
cocok dengan kepribadian aku. Aku suka cowok yang perhatian, teduh, dan
juga romantis." jawab Bunga.
"Yakali
kita harus nanya satu-satu, siapa yang zodiaknya Scorpio, Pisces atau
Taurus dan mau sama kamu?" Hindun, sobat baik sejak SMA yang juga jadi
rekan kerjanya, tapi sudah beranak lima, ikut menanggapi. Bunga melirik
tajam ke arahnya.
"Aku
nggak mau tahu. Pokoknya bawa laki-laki yang sesuai dengan kriteriaku
itu. Satu lagi, rajin shalat dan tidak merokok!" Cerocos Bunga.
"Itu
sih bukan satu, tapi dua!" timpal Jaelani, laki-laki tambun yang
hobinya nongkrong sama emak-emak. "Lagian kenapa sih, kamu nggak nyari
di Biro Jodoh aja?" tanyanya lagi.
"Ssssttt!"
Hindun meletakkan telunjuk ke bibirnya. Hindun lupa menceritakan
sesuatu pada Jaelani. Bunga, sohib mereka ini, sudah berkali-kali
mencari pendamping lewat Biro Jodoh, namun entah karena syarat zodiak
itu atau karena hal lain, sampai kini ia belum berhasil.
Dan suatu hari...
"Mbakyu,
mau aku kenalin sama seseorang? Zodiaknya Scorpio, rajin shalat, dan
bukan perokok. Impian kamu banget deh..." Jaelani memberikan sebuah
informasi.
"Wah,
menarik nih..." Senyum terkembang di bibir Bunga. Ia langsung
membayangkan dirinya mengenakan gaun pernikahan, membina rumah tangga
dengan orang yang selama ini ia cari. Fisik dan materi, baginya memang
sudah tak penting lagi.
"Jadi
kapan mau ketemuan? Orangnya sih, ingin secepatnya menikah juga, karena
sama dengan kamu, adik-adiknya juga sudah menunggu." ujar Jaelani.
Hindun menambahi dengan semangat, "Tuh, buruaaaan!"
Tapi demi mendengar penjelasan terakhir dari Jaelani, Bunga mengerutkan dahi. "Wait! Tadi apa kamu bilang? Adik-adiknya sudah menunggu? Berarti dia sulung juga dong kayak aku?"
"Yoiiiih..." jawab Jaelani.
"Hadeuh,
menurut orang Jawa, anak sulung nggak boleh menikah sama anak sulung
juga, karena katanya bisa berantem melulu. Gimana dong?"
"Terserah lo deh!" Hindun dan Jaelani kesal. Mereka pergi meninggalkan Bunga sendiri.
|
--------------------------------------------------------------- |
Arin tumben ngefiksi, haha... Iya, ini challenge dari Mbak Ran buat ngisi postingan kolaborasi bulanan kita. Dimaklumin aja ya kalau masih banyak kurangnya. Nulis fiksi itu nggak mudah lho... Oya, intip Ceret Merah Kekinian punya Mbak Widut, dan Ibu Hajah nya Mbak Ran. Kasih nilai yaa, wkwkwk... *tutup muka
Hwhahah, semua gara gara primbon endinge
ReplyDeleteHarusnya Judulnya kuganti "gara-gara primbon" ya? Kayaknya lebih bagus.. Hihi..
DeleteGood, tp ending e perlu diolsh lg mungkin
ReplyDeleteAda ide ngga mba?
Deletemenurutku ini bukan flash fict mbak-e. Alure masih lurus.
ReplyDeleteWkwkwk.. Oke belajar lagi deh :D
DeleteSuamiku dan aku sama-sama anak sulung lho, dulu pernah diingetin Pak Yai kalau dalam pernikahan kami harus berhati-hati karena kami akan sama-sama egois, begitu katanya.. tapi nyatanya Pak Yai belum tahu kalau dalam diriku ini ada bungsu yang sedang bersembunyi dalam tubuh si sulung. Iki opo sih?!!
ReplyDeleteoya ya, ah..tapi itu cuma mitos kan yaa..
Deletembak endingnya kurang greget... tapi aq suka kok
ReplyDeletehihi iya nih masih harus belajar lagi.. susah juga ternyata..
Delete