Sheila, Torey Hayden. Photo dari Google. |
Saat menerima buku ini dari Mbak Hana Aina (FYI, i got this book for free, bonus dari beli cireng di Etalase Hana, hehe), saya sudah membayangkan akan seperti apa kisah di dalamnya. Torey Hayden yang merupakan seorang psikolog pendidikan sekaligus pengajar yang menangani anak-anak berkebutuhan khusus, memang sering bercerita tentang anak-anak didiknya lewat sebuah buku. Sebelum Sheila, saya telah membaca Jadie dan Venus, dua buku Torey Hayden lainnya.
Mungkin karena sejak dulu saya tertarik dengan dunia pendidikan, maka buku-buku Torey ini selalu menarik minat saya. Membaca buku-buku Torey Hayden, saya seolah menyaksikan bagaimana Nanny 911 menyelesaikan sebuah masalah. Saya pun banyak belajar dari buku-buku ini. Seperti pemberlakuan reward and punishment. Adanya "time out" dengan menggunakan kursi diam untuk anak yang sedang marah atau bersalah, agar dapat menenangkan diri atau merenungi kesalahannya. Juga adanya reward misalnya dengan ice cream party tiap jumat sore apabila dalam seminggu itu anak-anak dapat bekerja sama menjaga kelas dari kericuhan.
Sekolah tempat saya mengajar dulu menerapkan pola "kosekuensi" sebagai pengganti reward and punishment. Jadi misalnya, "Kalau kamu tidak segera menghabiskan makananmu di snack time, maka waktu bermainmu di outside time akan berkurang. So, if you want to play longer, finish your meal as soon as possible!" Ya, inti dari reward and punishment juga "konsekuensi" ini sebenarnya sama saja, mengajarkan anak untuk bertanggung jawab akan dirinya sendiri.
Sekolah tempat saya mengajar dulu menerapkan pola "kosekuensi" sebagai pengganti reward and punishment. Jadi misalnya, "Kalau kamu tidak segera menghabiskan makananmu di snack time, maka waktu bermainmu di outside time akan berkurang. So, if you want to play longer, finish your meal as soon as possible!" Ya, inti dari reward and punishment juga "konsekuensi" ini sebenarnya sama saja, mengajarkan anak untuk bertanggung jawab akan dirinya sendiri.
Jadie, Torey Hayden. Gambar dari Google. |
Buku-buku Torey Hayden, tak pernah jauh dari kisah anak terlantar dari keluarga miskin, yang bermasalah, dan rata-rata pernah mengalami kekerasan fisik maupun seksual. Ya, saya menyimpulkannya dari apa yang dialami Jadie dan Venus.
Lalu bagaimana dengan Sheila?
Awalnya saya sedikit lega. Torey menceritakan tentang Sheila yang pernah berlaku kriminal karena telah membakar seorang anak kecil berusia tiga tahun hingga nyaris tewas, dan di tangannya, Sheila sedikit mengalami perkembangan dengan menjadi anak yang terbuka dan mampu mengontrol emosi, meski untuk meluluhkan anak itu sangat tidak mudah.
Ya, setidaknya sampai bab 15 saya tidak menemukan kisah Sheila yang mendapat kekerasan seksual. Tapi kelegaan saya ternyata hanya sampai di halaman 363. Karena, seperti Jadie dan Venus, Sheila kemudian harus mengalami kekerasan seksual oleh pamannya sendiri.
Ya, setidaknya sampai bab 15 saya tidak menemukan kisah Sheila yang mendapat kekerasan seksual. Tapi kelegaan saya ternyata hanya sampai di halaman 363. Karena, seperti Jadie dan Venus, Sheila kemudian harus mengalami kekerasan seksual oleh pamannya sendiri.
Di bab 16 ini saya marah, sedih, geram dan akhirnya ikut menangis. Tergambar bagaimana perlakuan si paman pada Sheila, yang tak sanggup saya tuliskan di sini. Anak sekecil itu, sudah harus menanggung beban yang teramat berat. Tapi Torey dengan kasih sayangnya, mencoba memulihkan Sheila dari trauma.
Hubungan Torey dengan Sheila yang kian dekat, membuat Sheila menjadi ketergantungan dengan Torey. Ini menjadi sebuah dilema, karena cepat atau lambat, kelas mereka akan berakhir. Torey akan melanjutkan pendidikannya, dan Sheila akan dipindahkan ke Rumah Sakit Negara. Dalam dunia pendidikan, ini dianggap sebuah kesalahan, karena hubungan guru dan murid seharusnya tidak saling menggantungkan. Beruntung, di akhir cerita, Sheila kemudian bisa memahami perpisahan itu.
**
Dari buku ini dan buku-buku Torey lainnya, saya belajar bahwa perilaku seseorang sangat bergantung dari lingkungan yang membentuknya. Sheila menjadi pribadi yang keras, karena pengalaman hidupnya yang juga keras. Ditinggalkan ibu kandungnya di jalanan dan hidup dengan Papa pemabuk yang bahkan ragu untuk mengakuinya sebagai anak kandung, membuat hatinya sedemikian keras. Ia bahkan tak pernah menangis atau mengeluarkan air mata. Namun kelembutan hati Torey, perlahan bisa membuatnya mengeluarkan emosi hatinya.
Papa Sheila pun tak bisa sepenuhnya disalahkan, karena Torey yakin, ia pun dibentuk oleh lingkungan yang serupa. Ya, pola asuh kita pada anak-anak kita, akan menghasilkan pola asuh yang sama dari anak-anak kita pada cucu-cucu kita nantinya.
So, the choice is yours. Wanna break the chain of violence right now, or let it bloom?
Lingkungan memang sangat mempengaruhi perkembangan psikis seorang anak. Buku ini sepertinya menarik untuk dijadikan referensi 😊
ReplyDeleteiya Mba..betul. baca buku-buku Torey Hayden itu, seperti dibukakan mata, ternyata hati anak-anak itu rapuh. dan mereka mencontoh bagaimana orang dewasa memperlakukan mereka.
Deleteni buku lama y mba cuman aku belum menyentuhnya :) jadi pengen baca juga kisah Jodie
ReplyDeleteIni novel klasiknya mbk? Jadi pengen baca juga.. Harus cari bukunya dulu di toko online nih ;)
ReplyDeletesepertinya udah gak ada buku barunya yaa Mbaa, pengen beli dan baca bukunya
ReplyDeleteKayaknya pernah baca buku ini, tapi lupa. Atau mungkin juga karangan torey lainnya deh he he he. Setuju jika anak terbentuk oleh lingkungannya.
ReplyDeletenice share mbak. Thank you