breastfeeding Mom from pixabay |
Alhamdulillah, saya bersyukur diberi kemudahan oleh Allah SWT sehingga bisa menyusui anak-anak saya dengan lancar. Amay menyusu sejak usia 4 hari (karena saya melahirkan Amay secara caesar, dan mengingat kondisi saya yang kurang memungkinkan untuk menyusui, maka untuk Amay kami memberikan susu formula di hari-hari pertama kelahirannya) hingga 2 tahun. Aga, merasakan nikmatnya ASI sejak usianya baru beberapa menit. Syukur Alhamdulillah, saya diberi kekuatan untuk melahirkan Aga pervaginam. Menyusui Aga tak menemukan banyak kendala, alhamdulillah.
Tapi, disini saya tidak hendak membandingkan, mana ibu yang paling baik; yang mampu memberi ASI atau yang memberi anaknya dengan susu formula. Iya, dulu saya memang pernah "sesempit" itu. Saya pasti akan bertanya-tanya dengan (maaf), agak memandang rendah, "Mosok menyusui aja nggak bisa? Aku lhooo, meski penuh pengorbanan, tapi aku mau berusaha." Tapi itu dulu, hingga suatu hari saya diingatkan, bahwa iya, ibu saya pun dulu hanya bisa memberi adik saya (Opik) ASI, hingga usia Opik 7 bulan. Selanjutnya, nanti akan saya ceritakan.
Jadi, saya sependapat dengan tulisan Mak Istiana Sutanti, pemilik blog http://istiana.sutanti.com/. Who am i to judge? Saya dan Mak Istiana Sutanti pun ternyata sama-sama sebagai ibu yang "bertaubat" karena pernah melakukan hal ini.
Bahkan disini, beliau menulis begini:
Pada ibu-ibu yang mengeluh bahwa ASInya tidak keluar pun, saya masih akan meng"agung"kan kehebatan saya yang tak pernah menyerah, meski di hari ke empat pasca melahirkan Amay, ASI saya hanya keluar setetes. Intinya adalah, saya mengatakan pada mereka bahwa semakin diisap, ASI akan semakin banyak keluar. Seperti kampanye ASI gitu deh...
Iya, bisa menyusui memang dipandang sebagai sebuah prestasi. Tapi "merasa" berprestasi, tak menjadikan kita layak untuk menghakimi, bukan? Ada kondisi dimana seorang ibu memang tidak bisa menyusui. Ini yang mesti kita pahami. Bahwa setiap orang ditakdirkan memiliki keadaan yang berbeda satu dengan lainnya. Bukankah ukuran sepatu kita pun berbeda? Tak perlu lah kita memaksakan hal-hal yang bukan ranah kita sebenarnya.
Sesuai janji saya di atas, saya akan ceritakan mengapa ibu saya hanya bisa menyusui Opik hingga kurang lebih tujuh bulan saja.
Saat hamil Opik, usia ibu saya 38 tahun. 11 bulan mengandung, Opik pun lahir. 11 bulan? Iya, 11 bulan. Mungkin kalau jaman sekarang, ibu udah dikejar-kejar dokter untuk dilakukan operasi. Kenapa bisa sampai 11 bulan? Entahlah... Yang saya ingat, saat itu saya sering bertanya, kenapa sudah sembilan bulan, adik nggak lahir-lahir? Dan ibu menjawab kurang lebih begini, "Sama kayak orang pengen pup, kalau belum kerasa mules ya nggak akan keluar."
Kondisi kesehatan ibu saya di tahun-tahun sebelumnya memang tidak terlalu baik. Ini pula yang mendorong ibu untuk melepas KB nya hingga kemudian muncullah Opik. Saya kurang bisa mengingat secara detail, apa hubungan KB dengan kesehatan ibu saat itu. Yang jelas, saat hamil itu ibu saya sering sakit-sakitan sehingga harus mengkonsumsi obat-obatan.
Alhamdulillah, Opik lahir dengan berat 2,8 kg dan sehat (meski saat itu kulitnya kuning). Dan hal yang dikhawatirkan ibu saya, bahwa obat-obat yang dikonsumsinya akan membuat Opik (maaf) cacat, alhamdulillah tidak terjadi. Opik sehat hingga sekarang usianya sudah 18 tahun.
Namun, pasca melahirkan, ada hal lain yang jadi perhatian ibu. Ibu mampu menyusui, Opik juga mau minum ASI, namun setelah 6 bulan, badan Opik semakin kecil. Apakah ini efek samping dari obat-obatan yang ibu konsumsi? Entahlah... Sampai pada akhirnya ibu memutuskan untuk berhenti memberi Opik ASI.
Mudahkah itu semua? Sama sekali tidak. Saat itu saya melihat perjuangan ibu mengompres payudaranya yang bengkak karena penuh dengan ASI, namun tidak bisa disusukan. Ibu harus membuangnya. Saya sempat bertanya, "Kenapa dibuang, Bu?" dan beliau menjawab, "Karena susu ibu ini nggak bagus." (Semoga Allah menghadiahi ibu surga yang indah untuk perjuangannya ini, karena saya masih ingat betul ekspresi wajahnya yang menahan sakit saat mengompres payudaranya yang bengkak, dan memerah isinya keluar).
Untunglah ibu tidak hidup di jaman sosial media, yang setiap perbedaan pendapat dijadikan alasan untuk berdebat. Kalau dulu sudah ada facebook, mungkin ibu sudah dibully berkali-kali. Dari "ketenangan" saat kehamilan mencapai usia 11 bulan, dari "kecerobohan" minum obat-obatan, juga dari keputusan untuk menghentikan ASI. Bahkan mungkin kalau netizen tau ibu saya memberi Opik madu saat usianya kurang dari 1 tahun, ibu akan kena bully juga. :D
Tapi untunglah yaa, di jaman itu orang-orang masih punya "pakewuh" alias "rasa nggak enak hati". Orang-orang juga masih pandai menahan diri, untuk tidak berkata-kata yang bisa melukai.
"Merasa" berprestasi tak lantas menjadikan kita layak untuk menghakimi. Seorang ibu tak bisa menyusui, pasti ada hal yang melatarbelakangi. Dan saat bersyukur, jangan sampai membuat orang lain merasa tersungkur. :)
Bahkan disini, beliau menulis begini:
Awalnya sih, saya termasuk di pihak yang ngejudge. Di pihak yang berpikir semua ibu bisa koq ngasih ASI asal dianya punya keinginan keras dan emang berusaha banget untuk itu. Malah ngejudge juga yang akhirnya nyerah itu ya ibu-ibu yang emang gak mau cari tau lagi, gak mau dapet ilmu lagi gimana biar bisa tetap ngasih ASI gimanapun kondisinya.Persis banget sama saya. Dan saya, pasti akan menambahi; "Dulu puting saya kecil, mendlep, tapi setiap hari saya susukan ke Amay. Pokoknya saya berusaha biar Amay bisa menghisap susu dari puting saya yang kondisinya begini, dan lama-lama payudara saya keluar sendiri tuh putingnya," pada ibu-ibu yang mengeluh bahwa puting mereka kecil.
Pada ibu-ibu yang mengeluh bahwa ASInya tidak keluar pun, saya masih akan meng"agung"kan kehebatan saya yang tak pernah menyerah, meski di hari ke empat pasca melahirkan Amay, ASI saya hanya keluar setetes. Intinya adalah, saya mengatakan pada mereka bahwa semakin diisap, ASI akan semakin banyak keluar. Seperti kampanye ASI gitu deh...
Iya, bisa menyusui memang dipandang sebagai sebuah prestasi. Tapi "merasa" berprestasi, tak menjadikan kita layak untuk menghakimi, bukan? Ada kondisi dimana seorang ibu memang tidak bisa menyusui. Ini yang mesti kita pahami. Bahwa setiap orang ditakdirkan memiliki keadaan yang berbeda satu dengan lainnya. Bukankah ukuran sepatu kita pun berbeda? Tak perlu lah kita memaksakan hal-hal yang bukan ranah kita sebenarnya.
Sesuai janji saya di atas, saya akan ceritakan mengapa ibu saya hanya bisa menyusui Opik hingga kurang lebih tujuh bulan saja.
Saat hamil Opik, usia ibu saya 38 tahun. 11 bulan mengandung, Opik pun lahir. 11 bulan? Iya, 11 bulan. Mungkin kalau jaman sekarang, ibu udah dikejar-kejar dokter untuk dilakukan operasi. Kenapa bisa sampai 11 bulan? Entahlah... Yang saya ingat, saat itu saya sering bertanya, kenapa sudah sembilan bulan, adik nggak lahir-lahir? Dan ibu menjawab kurang lebih begini, "Sama kayak orang pengen pup, kalau belum kerasa mules ya nggak akan keluar."
Kondisi kesehatan ibu saya di tahun-tahun sebelumnya memang tidak terlalu baik. Ini pula yang mendorong ibu untuk melepas KB nya hingga kemudian muncullah Opik. Saya kurang bisa mengingat secara detail, apa hubungan KB dengan kesehatan ibu saat itu. Yang jelas, saat hamil itu ibu saya sering sakit-sakitan sehingga harus mengkonsumsi obat-obatan.
Alhamdulillah, Opik lahir dengan berat 2,8 kg dan sehat (meski saat itu kulitnya kuning). Dan hal yang dikhawatirkan ibu saya, bahwa obat-obat yang dikonsumsinya akan membuat Opik (maaf) cacat, alhamdulillah tidak terjadi. Opik sehat hingga sekarang usianya sudah 18 tahun.
Namun, pasca melahirkan, ada hal lain yang jadi perhatian ibu. Ibu mampu menyusui, Opik juga mau minum ASI, namun setelah 6 bulan, badan Opik semakin kecil. Apakah ini efek samping dari obat-obatan yang ibu konsumsi? Entahlah... Sampai pada akhirnya ibu memutuskan untuk berhenti memberi Opik ASI.
Mudahkah itu semua? Sama sekali tidak. Saat itu saya melihat perjuangan ibu mengompres payudaranya yang bengkak karena penuh dengan ASI, namun tidak bisa disusukan. Ibu harus membuangnya. Saya sempat bertanya, "Kenapa dibuang, Bu?" dan beliau menjawab, "Karena susu ibu ini nggak bagus." (Semoga Allah menghadiahi ibu surga yang indah untuk perjuangannya ini, karena saya masih ingat betul ekspresi wajahnya yang menahan sakit saat mengompres payudaranya yang bengkak, dan memerah isinya keluar).
Untunglah ibu tidak hidup di jaman sosial media, yang setiap perbedaan pendapat dijadikan alasan untuk berdebat. Kalau dulu sudah ada facebook, mungkin ibu sudah dibully berkali-kali. Dari "ketenangan" saat kehamilan mencapai usia 11 bulan, dari "kecerobohan" minum obat-obatan, juga dari keputusan untuk menghentikan ASI. Bahkan mungkin kalau netizen tau ibu saya memberi Opik madu saat usianya kurang dari 1 tahun, ibu akan kena bully juga. :D
Tapi untunglah yaa, di jaman itu orang-orang masih punya "pakewuh" alias "rasa nggak enak hati". Orang-orang juga masih pandai menahan diri, untuk tidak berkata-kata yang bisa melukai.
"Merasa" berprestasi tak lantas menjadikan kita layak untuk menghakimi. Seorang ibu tak bisa menyusui, pasti ada hal yang melatarbelakangi. Dan saat bersyukur, jangan sampai membuat orang lain merasa tersungkur. :)
Lebih bijak bila tidak memperdebatkan pilih ASI atau tidak ASI ya Mba.. Yang openting kita bisa memberikan nutrisi yang tepat untuk baby kita..
ReplyDeleteIya Mba, kalau bisa menyusui ya disyukuri. kalau ada yang ngga bisa, ya sudah ngga perlu dinyinyiri..
DeleteBiar Allah yang menilai sajalah, mbak. Tapi kuncinya memang kita kudu positif thingking, baik yang bisa memberi ASI atau Sufor. Terkadang karena kita yang terlalu baper, hanya diedukasi tentang ASI dan bagaimana agar ASI bisa keluar melimpah saja dianggap menghakimi, padahal hanya memberi informasi, bukan bermaksud merendahkan.
ReplyDeleteTerkadang yang bisa memberi ASI pun saat mereka, para ibu yang memberi sufor, menasihati untuk menambah sufor, karena terlalu baper akhirnya justru reaksinya marah-marah. Seolah sufor itu menyinggung ASI-nya. Jadi? Memang kudu positif thingking menyikapi pesan. :)
iya, jika itu terjadi pada kita, kitanya kudu positive thinking.. tapi jika itu terjadi pada orang lain, terhadap orang lain pun kita harus positive thinking kan? :)
Deletebener Mba, biar Allah saja yang menilai. makanya kita ngga usah terlalu repot menilai apakah si A ibu yang baik atau tidak, si B baik atau tidak. betul begitu?
Anak pertama dan kedua ku juga puny pengalaman yang berbeda bngt mbak ngASI nya. Anak pertama, bingung puting..tapi bisa merasakan asi perah mpe 7 bln. Anak kedua...mpe 3 tahun full ASI.
ReplyDeleteNah, bahkan pada anak dari ibu yang sama pun, bisa berbeda kan ya?
DeleteSaya dulu juga dibully (sama dokter anak malah), gara2 ga kasih ASI dan dinyatakan si Alfi alergi sufor. Sakit hati sich tapi saya jadi berusaha mati2an biar Alfi mau minum ASI. Berhasil meskipun setelah umur 2 bulan baru mau nge ASI :)
ReplyDeletebagus kalau jadi termotivasi Mba.. kalau jadi depresi gimana? kemampuan setiap orang utk menerima saran juga berbeda-beda kan ya?
DeleteApa sekarang memang lagi trennya membully sesama ibu ya mbak? Jaman dahulu juga sepertinya sudah ada pembullyan tapi tidak sampai terekspos ke seluruh jagat maya, paling terekspos satu RT, paling jauh satu kompleks atau satu bataliyon. Duh sedih juga ya, toh padahal sama-sama dipanggil Ibu
ReplyDeleteaku mah juga di bully sama isterinya sepupu suami. wkwkwkw... dia berasa paling baik karena bisa ngasih ASIP....
DeleteMba Rani, hihihi.. iyaaa..dulu mah ngga ada fesbuk Mbaaa.. kumpul-kumpulnya di tempat arisan kan yaaa..
DeleteMba Witri, sabar yaa..hehe
saya sudah kenyang dengan segala macam omongan menyakitkan karena tidak memberi ASI pada anak saya Mba :(
ReplyDeletemereka gak tau kalo saya didera perasaan bersalah karena gagal menyusui anak saya, bahkan hingga saat ini :(
katanya, daripada dua tangan kita sibuk untuk menutup mulut orang lain, mendingan keduanya kita gunakan untuk menutup telinga, ya ngga? hehe.. sabar ya Mba, hanya anak-anak kita yang bisa merasakan, how much we love them..
Deletekalau seorang ibu dinilai baik dari pemberian ASI eksklusif, maka aku bukan ibu yang baik. dari lahir aku ngasih Juna sufor plus ASI pun cuma setahun. terus, lahirannya normal. yups, dulu sewaktu blm punya anak, saya juga saklek banget kalau ibu itu harus ngasih ASI. etapi kondisi orang kan beda2.
ReplyDeletedan sekarang, saya sering dipandang sebelah mata gegara saya lahiran sufor plus ngasih Juna ASI dan sufor...
betul Mba, kondisi tiap orang berbeda-beda.. :)
DeleteDiperdebatkan sih bagi saya nggak perlu, sometimes kita nggak tau gimana kondisi sebenarnya dari ibu yang qodarulloh nggak bisa ngasi ASIX atau ASI sampai 2 tahun. Tapi share info seputar ASI dan juga MPASI juga perlu. Karena ternyata masih ada ibu-ibu yang mau kasi makan bayinya yang baru 3 bulan dengan alasan biar gemuk atau karena minum sufornya banyak, kayaknya nggak kenyang2, jadi mau dikasi makan. Atau ada juga yang karena nggak mampu beli sufor, bayinya dikasi susu kental manis dan teh manis :(
ReplyDeletebener Mba, edukasi itu penting.. tapi banyak ibu-ibu (iya, justru kebanyakan dari kalangan ibu-ibu sendiri yang suka begini kan ya..) yang harus "berlatih" bicara atau menuliskannya, biar kesan menghakimi itu tidak terasa, .
DeleteTerkadang perdebatan memberikan ruang bagi kita untuk belajar tahu informasi lebih banyak, tapi tetap saja ASI atau Sufor ibu terlebih dahulu harus nyaman dengan pilihannya. Terkadang kondisi masing-masing orang berbeda.
ReplyDeletebagus sekali jika dari perbedaan pendapat itu kita kemudian termotivasi untuk belajar Mba.. tapi tidak banyak yang begitu kan yaa.. benar, kondisi tiap orang berbeda-beda..
DeleteSeperti mba Irawati saya pun juga demikian, saya didera perasaan bersalah karena hanya memberi ASI selama 2 bulan saja...
ReplyDeletesayangnya seorang ibu, ngga hanya terlihat dari memberi/tidak memberi asi kan Mba? hehe, semangaaatt..
DeleteAnak pertamaku ASI cuma sampai 14 bulan, karena hamil anak kedua. Mau lanjut ngasih asinya kasihan sama yang di perut... anak kedua malah cuma 3 bulan... lagi2 karena hamil lagi...sedih, tapi mau gimana lagi....
ReplyDeletesebenernya bisa sih, sambil menyusui meski sedang hamil. Tapi iya, kadang kondisi kitanya yang bisa jadi ngga bagus juga, sehingga berpengaruh ke janin di perut..
DeleteHiks. sedih baca kisahnya ibu..
ReplyDeleteDulu.. saya juga termasuk orang yang kadang men-judge :(
melihat seorang teman pontang-panting berjuang untuk memberikan ASI tapi hasilnya kurang maksimal bahkan sampai relaktasi pun tidak mau keluar lagi ASInya, dan akhirnya harus diberi sufor. saya pun hanya bisa diam dan tak lagi banyak berkomentar jika ada ibu yang tidak bisa menyusui, dalam hatinya pasti dia juga ingin menyusui anaknya kan? :(
kita sama-sama taubat ya Mba.. :)
DeleteJujur mak, saya termasuk orang yang don't care about this.
ReplyDeleteStrugglingnya seorang mama itu beda-beda. Just shut up ur mouth! And sometimes put urself in other shoes! << kalo saya kayak gitu hihihihihh
Athar itu sufor plus asi sampai 6 bulan, Kei full asi. Jadi, saya bisa merasakan kedua sisi. Dan buat apa coba didebat dan menghakimi? Situ ponakan hakim apa? *dih
Lagian macam kurang kerjaan aja menghakimi terus debat kusir, mending baca buku deh #eaaaaa
Saya salut dengan perjuangan ibu ^.^
Terkadang mulut ini terkunci lebih baik daripada terbuka dan kalimatnya menyakiti *Mak Athar tumben jadi bijak :D hehehehhe
Saya dong sempat baper masalah gini, sampai bikin postingan : ibu yang ngasih sufor itu nggak jahat :D ya begitulah dunia emak-emak selalu penuh warna.
iya Mak.. saya nulis ini juga karena collaborative blogging.. *eh, ketahuan, haha.. sebelumnya males nulis yang pro kontra Mak, capek sama debat kusirnya, ngabisin energi.
DeleteSepakat Mba Arin.
ReplyDeleteBerusaha memberi ASI harus, tapi soal berhasil atau tidak bukan sepenuhnya kuasa kita.
iih, ada tambahan kata bijak.. tengkiyu mba ety..sepakat banget.. :D
DeleteAaah...dadi kelingan Ibuk meneeh.
ReplyDeleteAlhamdulillah kita sehat, bisa ngasih ASI ke anak-anak kita.
Semoga ibu bahagia disana..aamiin..
Deleteklo tante mbul blom bisa komen, soalnya tante mbul blom merasakan eaakkk
ReplyDeleteSenoga segeraa ya tanteee.. :*
Delete