Tiap kali melihat mukena terusan berwarna putih, hati saya tergetar. Ingatan saya berlari ke masa dua puluh tahun silam.
Saat itu, usia saya baru enam tahun. Mbah (nenek dari pihak bapak), mengajak saya ikut ke pengajian yang terletak di desa seberang. Benar-benar seberang, karena untuk mencapai desa itu saat itu kami harus menyeberangi sebuah sungai.
Sebelumnya, Mbah meminta ijin pada ibu untuk "meminjam" saya sebagai teman perjalanan. Ibu mengijinkan, tentu saja. "Kasihan Mbah kalau tidak ada teman," begitu yang selalu diucapkannya.
Setelah bersiap-siap, kami pun berangkat. Mbah tak lupa membawa jarik (kain/selendang) berwarna merah, untuk menggendong saya sewaktu-waktu saya lelah berjalan. Detail warna dan motif jarik itu masih saya ingat dengan jelas.
Benda lain yang juga dibawa adalah sebuah payung berukuran besar, karena hari terlihat sedikit mendung. Selain itu, ada sedikit makanan kecil yang disimpan di tas pengajiannya.
Benda lain yang juga dibawa adalah sebuah payung berukuran besar, karena hari terlihat sedikit mendung. Selain itu, ada sedikit makanan kecil yang disimpan di tas pengajiannya.
Kami berjalan pelan-pelan pagi itu, melintasi jalan-jalan sempit di antara pesawahan. Sesekali Mbah bertanya, "Kesel po ra? (Capek tidak?)", dan Mbah pun mengajak saya berhenti sejenak untuk beristirahat sambil menyantap bekal.
Kami hampir mencapai sungai ketika hujan mulai turun rintik-rintik. Gemuruh aliran air makin jelas terdengar. Mbah membuka payung dan mengeluarkan jarik merah dari tasnya untuk digunakannya menggendong saya.
Kami hampir mencapai sungai ketika hujan mulai turun rintik-rintik. Gemuruh aliran air makin jelas terdengar. Mbah membuka payung dan mengeluarkan jarik merah dari tasnya untuk digunakannya menggendong saya.
Tiba di tepi sungai, Subhanallah...banjir. Air berwarna keruh seperti kopi susu mengalir di depan kami. Saya yang saat itu hanya setinggi perut Mbah, mendongak ke atas, menatap wajah Mbah. "Akankah perempuan kecil yang sudah sepuh ini mundur, lalu mengajakku pulang?"
Ternyata tidak. Dikencangkannya jarik yang mengikat saya dengan tubuhnya itu. Dipegangnya payung besar dengan tangan kanan. Dilepasnya sandal, lalu dipegangnya dengan tangan kiri, sembari tangan kiri itu memastikan saya aman di gendongannya. Bismillah, kakinya siap melangkah menembus air keruh yang tingginya mencapai dadanya.
Saya menahan tangis, ngeri dan takut kalau-kalau kami hanyut. Apalagi jika ingat cerita ibu bahwa di sini, di kali yang kami seberangi ini, ada ikan sebesar mesin jahit yang siap menyantap anak kecil yang bermain di sana. Tentu cerita ibu itu hanya untuk menakut-nakuti saya agar tidak bermain di sungai tanpa sepengetahuan orang tua.
Tiba-tiba, Mbah terpeleset, hampir jatuh. Sebuah sandal di tangan kirinya lepas, hanyut terbawa air. Mbah mencoba menjangkau sandal itu dengan tangan kirinya yang masih memegang satu sandal yang lain. Namun menyadari bahwa ini tidak akan berhasil, beliau merelakan sandal kesayangannya itu.
Kami basah kuyup, tidak saja karena terkena air hujan dari atas, tapi juga karena air sungai yang setinggi dada Mbah. Rasanya, payung itu jadi tidak berguna sama sekali.
Kami basah kuyup, tidak saja karena terkena air hujan dari atas, tapi juga karena air sungai yang setinggi dada Mbah. Rasanya, payung itu jadi tidak berguna sama sekali.
Tak lama kemudian, akhirnya kami bisa mencapai tepi desa seberang. Bersyukur sekali saya saat itu. Tapiii, tas pengajian Mbah yang berusi Al-Qur'an dan mukena, basah. Begitu juga baju kami berdua. Akhirnya, Mbah memutuskan untuk menjemur mukenanya di dahan pohon yang terletak di tepi sungai. Jaman dulu, mukena dijemur di tepi sungai tanpa ditunggu pun tidak hilang, hehe..
Sungai ini yang kami seberangi kala itu |
Mukena terusan berwarna putih polos itu, menjadi saksi perjuangan kami menaklukkan derasnya sungai. Saksi perjuangan Mbah yang berniat menuntut ilmu.
Setelah selesai menjemur mukena, kami melanjutkan perjalanan melewati ladang dan sawah, menuju rumah kakak perempuan Mbah. Disana, Mbah mengganti pakaiannya, meminjam baju kakaknya. Masjid tempat pengajian ada tepat di sebelah utara rumah kakak perempuannya itu. Saya, dipinjami pakaian ganti oleh sepupu saya yang juga tinggal di samping rumah kakak perempuan Mbah.
Rasanya, perjalanan kami hari itu, antara mengerikan sekaligus mengharukan. Betapa perjuangan Mbah untuk mencari ilmu sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat sangat patut diteladani.
Dan hari ini, di 16 tahun kepergiannya, saya bersaksi bahwa Mbah adalah teladan yang sholihah. Beliau membagi ilmu dengan ikhlas, mengajar mengaji seluruh anak-anak kecil di kampung saya tanpa pernah meminta imbalan. Beliau juga selalu bersemangat menimba ilmu, hingga ke tempat yang jauh, meskipun untuk mencapai tempat itu beliau hanya mengandalkan kedua kakinya. Masya Allah :)
Terharuuu....,sebelum kamu...akulah yang selalu menemaninya kemanapun, sedih karena belum sempat membahagiakannya. Masih lekat diingatanku, ketika tahun 1997...mbah kuberi uang 15rb dari hasil keringatku, beliau tersenyum dan mengucap doa.
ReplyDeleteMbah....,semoga bisa berkumpul lagi denganmu disana.
aamiin...
Deleteembahnya luar biasa...inspiratif mbah...eh mak
ReplyDeleteTerima kasih bu.. Mohon do'a untuk beliau semoga Allah menempatkannya di jannah, aamiin.. :)
Deleteaamiin. hebat perjuangannya. maju terus pantang mundur. semoga semangatnya menular pada kita yah
ReplyDeleteaamiin mak.. :)
Deletebagus mak ceritanya, cung jempol
ReplyDeletemakasih mak.. :)
DeleteHuaaaaa....jadi inget simbah putri
ReplyDeleteSama mba.. :(
Deletesubhanallah perjuangannya si Mbah :)
ReplyDeletepasti Mbah bahagia disana...
kalau saya jadi mbak, pasti nggak akan melupakan kejadian seperti ini juga seumur hidup.. :)
so sweet... :)
masya Allah, perjuangan yang luar biasa dan patut di teladani..
ReplyDeletesemoga Allah mengampuni dan merahmati beliau..